Kerangka Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Faruqi

Salah satu tokoh utama yang mencetuskan ide islamisasi ilmu adalah Ismail Raji’ Al-Faruqi, seorang sarjana muslim Palestina dengan spesialisasi filsafat, dan lama tinggal, belajar, dan mengajar di Amerika Serikat (Temple University). Pada tahun 1982 telah diselenggarakan Seminar Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Islamabad, Pakistan, dan dihadiri oleh para sarjana (ilmuwan) berbagai disiplin ilmu dari berbagai negara muslim.

Berikut ini kerangka dari tulisan Ismail Raji’ Al-Faruqi dibawah judul “Islamization of Knowledge : General Principles and Workplan”, diterbitkan oleh International Institute of Islamic Thought (IIIT) tahun 1402 H / 1982 M.

MASALAH

A. Malaise Yang Dihadapi Ummah

B. Efek-efek yang Utama dari Malaise Tersebut

1. Di Front Politik

Ummah terpecah-pecah. Kekuatan-kekuatan kolonial telah berhasil memecah-mecah ummah menjadi kurang lebih 50 negara yang berdiri sendiri-sendiri, dan saling menhantam diantara mereka.

2. Di Front Ekonomi

Umat Islam belum maju dan terbelakang dalam masalah ekonomi.

3. Di Front Religio-Kultural

Abad-abad kemerosotan kaum muslimin telah menyebabkan berkembangnya buta huruf, kebodohan, dan takhayul diantara mereka.

C. Inti Malaise yang Semakin Parah

Tidak diragukan lagi bahwa inti dari malaise yang dialami ummah adalah kesalahan sistem pendidikan yang diterapkan, yang bersifat merata dan umum di tengah-tengah umat Islam.

1. Keadaan Pendidikan di Dunia Islam pada Masa Kini

Meskipun semakin diperluas, keadaan pendidikan di Dunia Islam adalah yang terburuk. Sebelum ini, semua institusi pendidikan, mulai dari yang terendah sampai universitas, baik yang tradisional maupun yang sekular, tidak pernah seberani sekarang dalam mengemukakan tesis-tesis yang tidak islami. Demikian pula, para pemudanya tidak pernah sedemikian acuhnya terhadap Islam sebagaimana sekarang ini.

2. Tidak Memiliki Ketajaman Wawasan (Vision)

Meskipun pendidikan sudah dijalankan dengan sistem yang tidak Islami, ternyata hasil yang dicapai bukanlah sistem pendidikan model Barat sebagaimana yang diinginkan, tetapi hanya sebatas karikaturnya saja. Sebagaimana model pendidikan Islam, model pendidikan Barat juga sangat tergantung pada sebuah wawasan. Dan wawasan Islam jelas berbeda dengan wawasan Barat. Gedung-gedung pendidikan yang menjulang,semuanya adalah perlengkapan material yang tidak berharga tanpa adanya wawasan. Adalah sifat wawasan itu tidak dapat dijiplak kecuali insidental-insidentalnya.


TUGAS

A. Pemaduan Kedua Buah Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan Islam (yang selama ini ada) harus dipadukan dengan sistem pendidikan sekular sedemikian sehingga sistem baru yang terpadu itu dapat mengambil berbagai keuntungan dari masing-masing sistem yang ada.

B. Menanamkan Wawasan Islam

Pada mulanya Islam disajikan kepada seorang murid muslim dengan gaya otoritas kebepakan. Alam pikiran murid tersebut belum cukup dewasa untuk memahami atau menghargai pernyataan-pernyataan yang dikatakan “obyektif” tersebut. Oleh karena itu ketergantungannya atau kecintaannya kepada Islam disebabkan oleh sentimen, bukan oleh keyakinan yang telah dipikirkannya. Akibatnya jelas, keterlibatannya kepada Islam tidak dapat menahan serangan gencar dari kebenaran yang dikatakan “ilmiah”, “obyektif”, atau “modern”. Demikianlah deislamisasi itu berlangsung.

1. Kewajiban Mempelajari Kebudayaan Islam

Satu-satunya obat penangkal melawan proses deislamisasi tersebut di tingkat universitas adalah kewajiban mempelajari kebudayaan Islam, apapun bidang studi yang dipelajarinya. Selanjutnya, pengetahuan mengenai agama dan peradaban Islam tidak diperuntukkan bagi segelintir orang saja. Wawasan (vision) Islam tidak diperuntukkan bagi para spesialis saja. Wawasan ini adalah untuk semua manusia, dan ia dimaksudkan agar orang-orang yang memilikinya terangkat derajatnya ke tingkat eksistensi yang lebih tinggi.

2. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Modern

Kita harus menguasai disiplin-disiplin ilmu modern kemudian kita bawa dalam world view islami.


METODOLOGI

A. Kekurangan Metodologi Tradisional

Metodologi tradisional yang jumud dan tidak kreatif akan menghambat kemajuan ummah.

1. Fiqih dan Para Faqih; Ijtihad dan Para Mujtahid

Pertama, persoalan definisi kata “fiqih” yang telah mengalami penyempitan. Selanjutnya, para faqih dari ummah terdahulu – yaitu sahabat-sahabat Nabi, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para imam pendiri madzhab-madzhab besar – mempunyai keunggulan pengetahuan dalam setiap masalah yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin. Faqih-faqih di zaman klasik tersebut benar-benar ensiklopedis, secara praktisnya menguasai semua disiplin kesusastraan dan hukum hingga astronomi dan obat-obatan. Mereka adalah tokoh-tokoh profesional yang mengetahui bahwa Islam tidak hanya merupakan teori hukum tetapi juga sebuah sistem pemikiran dan kehidupan yang dihayati oleh berjuta-juta manusia dalam praktek yang aktual.

2. Pertentangan antara Wahyu dan Akal

Mungkin sekali perkembangan yang paling tragis dalam sejarah intelektual ummah adalah saling terpisahnya wahyu dari akal. Pemisahan ini sama sekali tidak dapat kita terima, karena sangat bertentangan dengan keseluruhan spirit Islam.

3. Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi

Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah pemimpin. Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan tindakan ini pecah. Saat keduanya terpisah, masing-masing mulai memburuk. Pemimpin –pemimpin politik dan manusia-manusia yang memiliki kekuatan mengalami krisis demi krisis tanpa memperoleh manfaat dari pemikiran, tanpa berkonsultasi kepada para cerdik pandai dan tidak memperoleh kearifan mereka. Akibatnya adalah kemandegan yang membuat warga-warga yang cerdik merasa asing dan semakin terisolasinya para pemimpin. Untuk mempertahankan posisi mereka, pemimpin-pemimpin politik melakukan kesalahan-kesalahan yang semakin banyak dan semakin besar.

4. Pemisahan antara Dunia dan Akhirat


B. Prinsip-prinsip Pokok Metodologi Islam

1. Keesaan Allah (Tauhidullah)

Meningkatkan pengenalan kepada Allah dan keimanan kepada-Nya Yang Tunggal merupakan tujuan akhir dari setiap ilmu pengetahuan.

2. Kesatuan Alam Semesta

a. Tata Kosmis

Alam semesta merupakan sebuah keutuhan yang integral karena merupakan karya Pencipta Tunggal, yang aturan dan desain-Nya telah memasuki setiap bagian alam semesta tersebut.

b. Penciptaan : Sebuah Tujuan-tujuan Ukhrawi

Seorang muslim sangat memahami bahwa penciptaan bersifat organis, yakni bahwa setiap bagiannya mempunyai tujuan tertentu, yang sangat berharga dan tidak ada yang bathil (sia-sia), sekalipun dia tidak atau belum mengetahuinya.

c. Taskhir (Penundukan) Alam Semesta untuk Manusia

Kepatuhan alam semesta kepada manusia tidak mengenal batas. Allah Ta’ala telah menghendakinya demikian. Kesalinghubungan kausal dan final diantara obyek-obyek alam semesta merupakan substansi dari kepatuhan ini.

3. Kesatuan Kebenaran dan Kesatuan Ilmu Pengetahuan

Dalam hubungannya dengan teori pengetahuan, posisi Islam dapat diterangkan dengan sebaik-baiknya sebagai kesatuan kebenaran. Kesatuan ini bersumber dari keesaan mutlaq Allah – Al-Haqq. Jika Allah memang Tuhan, seperti yang dinyatakan Islam, maka kebenaran tidaklah mungkin banyak jumlahnya. Allah-lah yang paling mengetahui kebenaran.

Semua pengetahuan Islam didasarkan pada tiga prinsip berikut :

Pertama, kesatuan kebenaran merumuskan bahwa wahyu tidak boleh membuat klaim yang bertentangan dengan realitas.

Kedua, kesatuan kebenaran yang merumuskan bahwa tidak ada kontradiksi antara nalar dan wahyu, merupakan prinsip yang bersifat mutlaq.

Ketiga, pola-pola yang dibuat oleh Allah bersifat tidak terhingga, sehingga penyelidikan / penelitian tentang hakikat alam semesta atau setiap bagiannya tidak akan pernah dapat berakhir atau dipecahkan.

4. Kesatuan Hidup

a. Amanah Allah

Kehendak Allah itu ada dua macam : Pertama, kehendak yang harus terealisasi. Kehendak ini termanifestasi dalam hukum-hukum alam. Kedua, kehendak yang hanya bisa direalisasikan dengan kemerdekaan (will). Kehendak ini termanifestasi dalam hukum-hukum moral.

Hukum-hukum moral ini bersamaan adanya (co-exist) dengan hukum-hukum alam. Hukum-hukum moral ini membutuhkan kehendak pribadi yang merdeka. Karena tidak memiliki kehendak yang seperti inilah, langit, bumi, dan gunung-gunung tidak sanggup menanggung amanah Allah. Hanya manusialah yang memikul amanah tersebut, karena hanya manusia-lah yang memiliki kemerdekaan moral.

Demikian pula malaikat tidak memiliki kemerdekaan moral.

b. Khilafah

Penanggungan amanah Allah oleh manusia membuat ia menjadi khalifah.

c. Kelengkapan Syariat Islam (Syumuliyatul Islam wa Kamaaluhu)

Syariat Islam bersifat lengkap, mengatur setiap relung kehidupan manusia.

5. Kesatuan Umat Manusia

QS Al-Hujurat (49) : 13 : “Wahai manusia! Allah telah menciptakan kalian semua dari satu pasangan, seorang lelaki dan seorang perempuan (Adam dan hawa); dan Kami telah menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal. Yang paling mulia diantara kalian dalam pandangan Allah ialah yang paling bertaqwa”.


RENCANA KERJA

A. Langkah-langkah yang Diperlukan untuk Mencapai Proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Langkah 1.

Penguasaan Disiplin Ilmu Modern : Penguraian Kategoris

Langkah 2.

Survei Disiplin Ilmu

Langkah 3.

Penguasaan Khazanah Islam : Sebuah Antologi

Langkah 4.

Penguasaan Khazanah Ilmiah Islam : Tahap Analisa

Langkah 5.

Penentuan Relevansi Islam yang Khas Terhadap Disiplin-disiplin Ilmu

Langkah 6.

Penilaian Kritis Terhadap Disiplin Ilmu Modern : Tingkat Perkembangannya di Masa Kini

Langkah 7.

Penilaian Kritis Terhadap Khazanah Islam : Tingkat Perkembangannya Dewasa Ini

Langkah 8.

Survei Permasalahan yang Dihadapi Umat Islam

Langkah 9.

Survei Permasalahan yang Dihadapi Umat Manusia

Langkah 10.

Analisa Kreatif dan Sintesa

Langkah 11.

Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern kedalam Kerangka Islam : Buku-buku Daras Tingkat Universitas

Langkah 12.

Penyebarluasan Ilmu-ilmu yang Telah Diislamisasikan

B. Alat-alat Bantu Lain untuk Mempercepat Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Konferensi-konferensi dan Seminar-seminar
Lokakarya-lokakarya untuk Pembinaan Staf




C. Aturan-aturan Implementasi Lebih Lanjut

Perhatian atas kesejahteraan para ilmuwan (ulama) muslim.
Kompetensi dalam proyek besar ini.
Pembagian tugas dalam pekerjaan besar ini.
Semua muslim bertanggung jawab atas pekerjaan ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tantangan dan Perkembangan Islamisasi Ilmu

Usaha ke arab proses Islamisasi ilmu pengetahuan menghadapi beberapa tan­tangan, khususnya justru dan kalangan cer­dik pandai Islam sendiri. Mereka terdiri dan beberapa golongan. Pertama, golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsepnya dan berusaha untuk menjelmakannya dan menghasilkan karya yang menepati maksud Islamisasi dalam disiplin ilmu mereka.

Kedua, golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsepnya tetapi tidak mengusahakannya se­cara praktis.

Ketiga, terdapat golongan yang tidak sependapat dan sebaliknya mencemôoh, mengej ek dan mempermainkan gagasan ini. Golongan ini lazimnya berargumen bahwa semua ilmu datangnya dan Allah dan justru itu semua ilmu adalah benar dan secara tabiatnya sudah Islam.

Golongan keempat adalah di kalan­gan mereka yang tidak mempunyai pendi­nan terhadap isu ini. Mereka lebih suka mengikut perkembangan yang dirintis oleh sarjana lain atau pun mereka tidak perduli dengannya.
Aktivitas golongan pertama amat penting untuk mengokohkan dan me­murnikan lagi konsep ini walaupun mere­ka saling mengknitik ide satu sama lain. Pengkritik juga turut tenlibat dalam usaha Islamisasi ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu masing-masing. Golongan ini adalah golongan yang konstruktif. S.A. Ashraf mengkritik al-Faruqi yang “ingin penye­lidikan dilakukan terhadap konsep Barat dan Timur, membandingkannya melalui subjek yang terlibat dan tiba kepada satu kompromi kalau memungkmnkan.”

Dalam pemikirannya, kompromi begitu mustahil sebab konsep-konsep ini terbit dan dua pandangan yang berbeda. Beliau menegaskan bahwa sarjana Islam tidak Se­harusnya mula dengan konsep Barat teta­pi dengan konsep Islam. Oleh karena itu, tugas pertama mereka adalah untuk meru­muskan konsep tersebut berdasarkan prin­sip yang dicungkil dan al-Qur’an dan al­Sunnah. Beliau menjelaskan bahwa adalah wajar bagi cendekiawan Muslim untuk mula-mula menemui kembali konsep-kon­sep Islam bagi setiap cabang ilmu dan ke­mudian membandingkan konsep itu den­ga konsep Barat dan seterusnya melahir­kan pemikiran Islam bagi setiap cabang sains kemanusiaan dan sains tabii.” Bagaitnanapun, berbeda dengan Ashraf, Nasr berpendapat bahwa integrasi Se­bagaimana yang dicadang oleh al-Faruqi bukan saja satu yang mungkin tetapi juga perlu. Beliau berargumen:

“Pemikir Islam mesti memadukan ber­bagai bentuk ilmu dalam kerangka pemiki­ran mereka, Bukan saja menerimanya, tapi sering mengkritik dan menolak struktur dan premis pada kebanyakan ilmu sains, dan kemudian menulis buku teks tentang tema itu. Misalnya anthropologi atau astronomi dilihat dan pandangan Islam, seperti yang pernah dilakukan oleh Ibn Sina atau Ibn Khaldun berkurun-kurun silam.”

Usaha al-Faruqi untuk membina kon­sep Islamisasi ilmu pengetahuan modern berasaskan Prinsip-Prinsip Pertamanya harus dihormati. Beliau mencoba menye­lamatkan identiti Islam mahasiswa Mus­urn yang mendapat pendidikan Barat. Bagaimanapun apabila beliau mencoba menterjemahkan konsepnya ke dalam kerangka kerjanya, ia menjadi masalah besar yang mengundang kritikan. ini ken­tara sekali ketika beliau meletakkan pen­guasaan ilmu pengetahuan modern Se­bagai langkah pertama mendahului pen­guasaan ilmu warisan Islam dan menjelas­kan relevansi Islam kepada disiplin ilmu Barat. Sardar mengkritiknya karena ber­selonjor sebelum duduk. Menurutnya, ilmu pengetahuan modernlah yang perlu dijadikan relevan kepada Islam sebab Is­lam adalah “a priori relevan untuk semua masa”. Beliau berargumen bahwa semua ilmu dilahirkan dan pandangan tertentu dan dan segi hirarki tunduk kepada pandangan tersebut. Oleh karena itu, usaha untuk menemui epistemologi Islam tidak boleh bermula dengan memberi tumpuan kepa­da ilmu modern. Menurutnya, Islarnisasi ilmu modern hanya bisa terjadi dengan membina paradigma, yang mengkaji aplika­si luar peradaban Islam yang berhubungan dengan keperluan dan realitas kontempor­er. Contohnya, dalam menghadapi krisis ekologi, Sardar menguraikan konsep tawhid, khilafah, amãnah, halal, harãm, ‘adl, i’tidal (kese­imbangan dan keharmonian) dan istihsãn (keutamaan kepada yang lebih baik) untuk teori lingkungan Islam. Sardar ingin meraih disiplin baru berdasarkan pandangan Islam, dan bukan sekedar mengislamkan disiplin ilmu yang ada. Tegas beliau:

“Keperluan tertentu, masalah terten­tu, tugas tertentu akan menarik perhatian sarjana dan ahli sains kepada bidang penyelidikan tertentu, justru meraih dis­iplin yang tunduk kepada pandangan Is­lam dan pada saat yang sama memenuhi keperluan material, budaya dan kero­hanian urnmah.”51 Namun ide Sardar su­paya sarjana Muslim merangkai disiplin mereka dan paradigma sendiri dan memis­ahkan din mereka dan paradigma Barat agak berat, contoh bermula dan nol, Wa!­hal peralatan analitis, mekanik pembinaan teori dan analisa proses sosial umum dan pandangan mereka yang netral, dapat di­manfaatkan.

Al-Attas juga tidak sependapat den­gan langkah ini dalam kerangka kerja alFaruqi karena ini membayangkan bahwa ada sesuatu yang tidak benar dalam ilmu penge­tahuari Islam dan karena itu ia perlu dibe­narkan. Pada pendapat beliau yang tidak benar dan perlu dibenarkan adalah ilmu pengetahuan sekuler dan Barat. Oleh sebab itu dalam konsepnya, al-Attas tidak langsung memasukkan tugas dekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tradisional. Beliau memerlukanrekonstruksi ilmu pengetahuan kontemporer saja. Beliau juga menyatakan perlu meneliti kembali ilmu warisan Islam ini tetapi sekedar untuk melihat sejauh mana ia menyimpang dan tradisi Islam dan bu­kan untuk menjelaskan relevansinya kepa­da disiplin ilmu Barat.

Golongan yang paling dikhawatirkan adalah golongan ketiga yang percaya ba­hawa semua ilmu itu sudah islami, sebab sumber ilmu adalah Allah SWT sendiri. Sehingga mereka sangsi dengan pelabelan Islam ataü bukan Islam pada segala ilmu. Contohnya, Hoodbhoy dan Abdus Salam, peménang Anugerah Nobel yang sangat bergengsi, sangsi dengan keberadaan sains Barat, sains Islam, sains Yunani atau per­adaban lain dan berpandangan bahwa sains itu bersifat universal dan lintas bangsa, agama atau peradaban. Begitu juga Bas­sam Tibi, seorang sarjana Islam di Jerman berargumen dengan halus untuk memper­juangkan keserasian Islam dan sekularis­me.

Fazlur Rahman, seorang yang ter­golong dalam golongan ini menegaskan bahwa ilmu itu pada asasnya adalah balk dan yang membuatnya buruk adalah pen­yalahgunaannya. Berlawanan dengan al-Faruqi yang mendahulukan penguasaan ilmu dan disiplin modern, beliau menya­takan sarjana Islam seharusnya menguasai ilmu wanisan Islam sebab banyak kekeliru­an telah ditimbulkan oleh sarjana Islam awal. Beliau mengajak sarjana Islam kembali kepada al-Qur’an. Seterusnya beliau berargumen bahwa apa yang diper­lukan umat Islam adalah untuk mengislam­kan akal dan bukannya ilmu. Pada tang­gapan Rahman, segala sesuatu yang meng­utarakkan yang baru kepada akal adalah ilmu. Beliau mengkategorikan ilmu kepa­da dua, yaitu ilmu yakin yang di­anugerah kepada para mursalin melalui wahyu dan ilmu-ilmu lain yang disebut dalam aI-Qur’an, termasuklah ilmu sihir. Jelas sekali bahwa Fazlur Rahman menang­gapi konsep ilmu yang dibicarakan sebagai know-how sebagaimana beliau menyatakan bahwa “bagaimana membuat coats of mail” sebagai ilmu atau “jika seseorang mempu­nyai kuasa atom ... ia membuat bom atom itu adalah keputusannya untuk menyalah­gunakan ilmu. Kalau kita teliti, yang per­tama itu adalah metode (bagaimana) dan yang kedua (yaitu kekuatan atom) adalah satu alat. Justru, beliau menyalahgunakan istilah ilmu dan membayangkan bahwa Is­lamisasi ilmu adalah usaha mengislamkan metode dan alat. Memang metode dan alat itu netral dan umat Islam tidak berusaha untuk mengislamkannya, tetapi isu besar terjadi apabila nilai dan pandangan tersir­at pada metode dan alat ini sehingga Ia meraih metodologi dan teori yang men­jadi ilmu.

Rahman juga sadar bahwa usaha awal pentenjemahan karya Yunani dilakukan dalam bidang falsafäh, sains dan peroba­tan tetapi tidak kesusasteraan yang men­gandung berbagai cerita tentang dewa­dewa yang mereka percayai. ini menun­jukkan bahwa sarjana Islam di zaman awal menyadari mitos-mitos ini bisa mempen­garuhi pandangan dan nilai Islam. Inilah yang dimaksudkan dengan Islamisasi ilmu zaman kontemporer sebab kini sekularis­me mempengaruhi pandangan Islam. Rah­man mendefinisikan ilmu sebagai “segala perkara yang mengutarakan sesuatu yang baru kepada akal.” Ilmu mungkin menga­ndung nilai baru tetapi tidak berarti ia netral. Kehadiran golongan yang demiki­an akan rnengelirukan umat Islam. Bahkan mereka juga kelihatan tidakterlalu me­mahami gagasan Islamisasi ilmu penge­tahuan dan mengkritik bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan cuma satu retorik atau propaganda waihal pada waktu yang sama mereka mengatakan “yang pentingnya ad­alah menilai sesuatu disiplin ilmu itu dan perspektif Islam.” Kerancuan ide ini menunjukkan kekeliruan yang terdapat dalam akal mereka.

Tantangan paling besar saat ini dalam kelanjutan proses Islamisasi ilmu adalab komitmen sarjana dan institusi pendidi­kan tinggi Islam sendini. Tantangan gb­balisasi yang ditimbulkan oleh kecanggi­han Teknobogi Informasi dan Komunikasi sungguh memusingkan. Ilmu kini diang­gap sebagai komoditi yang boleh dijuab­belikan dan sebagai dampaknya universi­tas menumpukan perhatian kepada “ilmu” yang berupaya meraih uang bersesuaian dengan ekonomi. Akibatnya, konsep ilmu pun sudah berubah dan mengenal Khaliq kembali kepada kemahiran, begi­tu juga konsep universitas berubah men­jadi pabrik pengeluaran tenaga kerja dan bukan pusat percambahan ide-ide murni dan besar. Universitas di negara Islam tu­rut terpengaruh dan perhatian para pen­gajar pun dialihkan kepada perhatian yang mengutarnakan kursus atau penyelidikan yang dapat meraih dana keuangan untuk universitas. Dalam kontek ini banyak juga universitas yang telah meletakkan Islam­isasi ilmu ini ke tahap lebih rendah dalam keutamaan misi ‘mereka. Menurut al-At­tas, tantangan yang terbesar terhadap gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan tim­bul dan golongan umat Islam itu sendini sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Beliau juga menegaskan bahwa tantangan kedua adalah kedangkalan umat Islam ter­hadap agamanya sendiri. Menurutnya golongan intelektual Islam sendiri tidak memahami Islam dengan sebaiknya dan itu dapat diketahui melalui hasil penulisan mereka.



Perkembangan Usaha Islamisasi Ilmu

Usaha Islamisasi ilmu secara perlah­an mulai marak dan beberapa karya telah pun dihasil. Al-Attas sendiri telah menun­jukkan satu model usaha Islamisasi ilmu yang baik melalui karya beliau, The Con­cept of Education in Islam. Dalam teks ini be­liau berusaha menunjukkan hubungan ant­ara bahasa dan pemikiran. Beliau menga­nalisis istilah-istmlah yang sering dimaksud­kan untuk mendidik seperti ta’lim, tarbiyah dan ta’dib, dan akhirnya menemukan isti­lab yang paling sesuai dan komprehensif adalah ta’dib. Usaha ini kemudian dilan­jutkan antara lain oleh Malik Badri (Dilem­ma of a Muslim PsycholQgist, 1990), S.H.Nasr (Islamic science), Akbar S. Ahmad (Thward Islamic Anthropology, 1986), W M Nor (The concept of knowledge in Islam, 1989), AbuSu­layman (Toward an Islamic Theory of Interna­tional Relations, 1993), SM. Dawilah al­Edrus (Islamic epistemology, 1992); Sardar (Is­lamic Futures, ), Rashid Moten (Political Sci­ence: An Islamic Perspective, 1996), dan Ros­nani Hashim (Educational Dualism in Malay­sia: Implications for theory and practice, 1996). Us­aha dalam bidang sosiologi dapat dijum­pai dalam tulisan Ragab, dalam bidang pendidikan dalam penulisan lshaq Farhan, Fathi Malkawi, Rosnani, bidang psikolo­gi dalam penulisan Hasan Langgulung, sementara dalam bidang ekonomi dalam karya Muhammad Anwar, Muhammad Arif, Zubair Hasan dan Ataul Haq. Peng­islaman sains alam telah banyak juga dibi­carakan oleh pemikir Islam khususnya S. H. Nasr, Sardar dan Bucaille.
ImageBanyak di antara cendekiawan Mus­lim yang berusaha menjelaskan dan mengembangkan lagi gagasan islamisasi ilmu-ilmu modern yang dipelopori Al­-Attas dan al-Faruqi di samping mengeten­gahkan ide mereka sendiri seperti Louay Safi dan Ibrahim Ragab yang mengem­bangkan ide al-Faruqi dan IIIT. AbuSu­layman membuat sedikit penjelasan dan sedikit modifikasi terhadap konsep al­-Faruqi dalam edisi kedua monograf yang diterbitkan pada tahun 1988. Begitu juga Safi mencanangkan supaya kerangka kerja al-Faruqi yang mempunyai 12 langkah dis­lngkatkan kepada tiga langkah yang lebih umum saja. Ibrahim Zein (Sudan), mu-rid al-Faruqi berpendapat bahwa al-Attas lebih layak bèrbicara tentang pemaduan t~ori, amali dan rohani, yaitu sintesis aql, jasad dan ruh, dan hal seperti ml tidak diberi perhatian secukupnya oleh pemikir di IIIT. Sementara itu Wan Mohd Nor juga menjelaskan dan mengembangkan ide al­-Attas. Di samping mengembangkan gagasan, ada juga cendekiawan yang mern­buat perbandingan ide antara pendapat­pendapat tokoh seperti perbandingan ant­ara Al-Attas dan Al-Faruqi, Al-Attas dan Fazlur Rahman, dan al-Faruqi dan Ziaud­din Sardar.

Gagasan Islamisas.i ilmu pengetahuan kini sudah menjangkau usia lebih kurang 30 tahun, jika kita menghitungnya bermula dan Persidangan Sedunia Pertama Pendid­ikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Banyak juga hasil dalam bentuk tulisan telah dilahirkan. Namun di milmnium baru ini, stamina bagi Islamisasi ilmu penge­tahuan kelihatan berada di tingkat yang paling rendah. Mungkin ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, ketiadaan pemimpin yang mempunyai visi pengisla­man ilmu pengetahuan semakin dirasakan ketika pemimpin berwibawa dan institusi yang terlibat dengan misi ini, mengundur­kan din atau dicopot karena desakan poli­tik atau masalah-masalah internal lain. Kedua, peristiwa September 11 juga mem­ben dampak karena setelah itu kebanya­kan institusi pendidikan Islam, baik dalam negara Islam sendiri atau bukan negara Is­lam dipantau oleh Amerika Serikat se­bagai upaya memberantas “TERORISME”. Ketiga, walaupun ketika keadaan aman, tidak terdapat strategi jangka panjang dan jangka pendek yang dirancang oleh insti­tusi berkenaan untuk memahamkan wang­anya dan segi falsafah Islamisasi Ilmu dan juga penggarapan falsafah ilmu wanisan Is­lam dan Barat. Intelektual kita lemah dari segi falsafah - metafisik, epistemologi, nilai - maupun dari segi tasawwur, tetapi kita tidak mengambil usaha memperkokoh pemahaman mereka supaya mereka me­mahami pertempuran peradaban yang ten­jadi diperingkat tinggi yang hanya dapat difahami oleh cendekiawan. Justru, intele­ktual kita tidak merasakan urgency. Strate­gi pertama yang harus dilaksanakan oleh institusi perguruan tinggi Islam adalah untuk memastikan bahwa pengajarnya fa­ham tentang tasawwur, falsafah dan pemikiran Islam dan Barat. Faktor kelima, adalah kesibukan mntelektual muda mem­buat penyelidikan empinikal demi kema­juan proyek ini. Hal ini sesuai dengan un­gkapan yang lazim didengar di Barat — pub­lish or perish (terbit atau binasa). Maka, wak­tu mereka sepenuhnya diberikan kepada usaha riset tanpa meninggalkan ruang un­tuk pemikiran tinggi.

Namun ahli sains kita tidak ber­landaskan pada aqidah yang kokoh dan falsafah yang dalam sebagaimana ahli sains Barat. Oleh karena itu mereka tidak dap­at memberi sumbangan yang sangat ber­makna kepada ummah. Dan yang terakhir, sejumlah besar warga akademik kurang berkeyakinan terhadap misi ini. Buku teks Barat khususnya untuk sains sos Ia! dan sains kemanusiaan masih banyak lagi yang di­gunakan di kampus-kampus. Dengan arus giobalisasi yang amat kuat yang menye­barkan pemahaman sekularisme, hedonisme, materialisme di samping pemahaman “Islam Teroris” yang mengancam ummah, Islamisasi manusia, ilmu pengetahuan dan pendidikan sebenarnya menjadi sangat perlu.



Penutup

Proses Islamisasi ilmu pengetahuan akan lebih lancar sekiranya umat Islam sa­dar dan faham akan tuntutan Islam dalam segala lapangan kehidupan. Is!amisasi ilmu pengetahuan bukan terjadi di luar sana, tetapi ia terjadi di dalam akal kita mela­lui bahasa, rasio dan pemikiran. ini ber­makna seorang sarjana Islam akan dapat melahirkan karya yang serasi dengan ruh Islam jika jiwanya sudah islami.

Maka titik tolak permulaan Islamisa­si ilmu pengetahuan adaiah din kita sendiri dan pemahaman tentang Islam dan penghayatannya.

Sebagai mahaguru atau para aiim yang sering berinteraksi dengan ilmu di institusi perguruan tinggi adalah menjadi tanggungjawab kita untuk menyambut ide in memahaminya, menghayatinya di ru­ang kuliah maupun dalam penyeiidikan dan mengembangkannya. Bagaimanapun, untuk menyukseskan misi ini, diperiukan political will sebab ia melibatkan pendidi­kan yang seharusnya di bawah kuasa pe­merintah. Maka dukungan pihak pemer­intah juga diperlukan mensukseskannya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Westernisasi dan Islamisasi Ilmu

Hegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific worldview) telah membawa dampak negatif terhadap peradaban lain­nya, khususnya dalam bidang epistemologi. Barangkali, “westernisasi ilmu pengetahuan” adalah istilah yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Jika hal ini difahami dengan bâik, maka terma Islamisasi Ilmu Pengetahuan kon­temporer” bukan hanya istilah yang wajar dan mudah diterima, tapi lebih merupakan proyek yang membawa keharusan konseptual. Oleh sebab itu, substansi Islamisasi tidak dapat sepenuhnya dimengerti jika tidak dikaitkan dengan persoalan epistemol­ogis yang melanda dunia Islam, dan tantangan yang menjadi sumbernya. Kajian ini akan memaparkan secara singkat Westernisasi ilmu pengetahuan yang menjadi tantan­gan bagi bangunan ilmu pengetahuan Islam untuk dapat memaharni makna dan relevan­si islamisasi.

I. Westernisasi Ilmu Pengetahuan

Image
Rene Descartes
Sejarawan Barat menganugerahkan gelar “Bapak Filsafat Modern” kepada René Descartes (rn. 1650), yang memformulasi sebuah prinsip, aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum). Dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio satu~satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Penekanan terhadap rasio dan panca indera sebagai sum­ber ilmu juga dilakukan oleh para filosof lain seperti: Thomas Hobbes (m. 1679), Benedict Spinoza (m. 1677), John Locke (m. 1704), George Berkeley (m. 1753), Francois-Marie Voltaire (m. 1778), Jean-Jacques Rousseau (m. 1778), David Hume (m. 1776), Immanuel Kant (m. 1804), Georg Friedrick Hegel (m. 1831), Arthur Schopenhauer (rn. 1860), Soren Kierkegaard (m. 1855), Edmund Husserl (rn. 1938), Henri Bergson (m. 1941), Alfred North Whitehead (m. 1947), Bertrand Russell (rn1970), Martin Heidegger (m. 1976), Emil­io Betti (m. 1968), Hans-Georg Gadam­er, Jurgen Habermas, dan lain-lain.

Pada zaman modern, filsafat Imman­uel Kant sangat berpengaruh. Kant menjawab keraguan terhadap ilmu penge­tahuan yang dimunculkan David Humme yang skeptik.

Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin, karena tidak bersandarkan ke­pada panca indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik - a priori sep­erti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fak­ta empiris.

Kant menamakan metafisika sebagai “ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemol­ogis (metaphysicial assertions are without epistemo­logical value).

Epistemologi Barat modern-sekular semakin bergulir dengan munculnya hi­safat dialektika Hegel (m. 1831), yang terpengaruh dengan Kant. Bagi Hegel, pengetahuan adalah on going process, dima­na apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap baru. Bukan dalam arti bahwa tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi ta­hap lama itu, dalam cahaya pengetahuan kemudian, kelihatan terbatas. Jadi tahap lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap kebe­naran. Tetapi yang benar dalam pen­yangkaian tetap dipertahankan.

Epistemologi Barat modern-sekular juga melahirkan paham ateisme. Akibat­nya, faham ateisme, menjadi fenomena umum dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti filsafat, teologi Yahudi-Kristen, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lain-lain.

Ludwig Feurbach (1804-1872), murid Hegel dan seorang teolog, merupa­kan saiah seorang pelopor faham ateisme di abad modern. Feurbach, seorang teolog, menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adaiah inanusia. Sekalipun agama atau teologi menyangkai, namun pada hakikatnya, agamalah yang menyem­bah manusia (religion that worships man). Aga­ma Kristen sendiri yang menyatakan Tu­han adalah mãnusia dan manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manu­sia. Makna sebenarnya dan teologi adaiah antropologi (The true sense of Theology is An­thropology). Agama adalah mimpi akal manu­sia (Religion is the dream of human mind).

Terpengaruh dengan karya Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat agama adalah “keluhan makhluk yang tertekan”, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pan­dangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya ad­alah ekonomi.

Selain itu, Marx memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dalam bidang sains, yang menyimpulkan Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Bagi Darwin, asal-mula spesis (origin of species) bukan be­rasal dan Tuhan, tetapi dan “adaptasi ke­pada lingkungan” (adaptation to the environ­ment). Menurutnya lagi, Tuhan tidak men­ciptakan makhluk hidup. Semua spesis yang berbeda sebenarnya berasal dan satu nenek moyang yang sama. Spesis menjadi berbeda ântara satu dan yang lain disebab­kan kondisi-kondisi alam (natural conditions) .

Faham ateisme juga berkembang dalam disipiin ilmu sosiologi. Auguste Comte, penemu istiiah sosiologi, meman­dang kepercayaan kepada agama merupa­kan bentuk keterbelakangan masyarakat. Dalam pandangan Comte, masyarakat berkembang meialui tiga fase teoritis; pertama, fase teologis, bisa juga disebut sebagai fase fiktif. Kedua, fase metafisik, bisa juga disebut sebagai fase abstrak. Ketiga, fase saintifik, bisa juga disebut Se­bagai fase positif. Kharasteristik dan set­iap fase itu bertentangan antara satu den­gan yang lain.

Dalam fase teologis, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan ghaib. Dalam fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak, atau en­titas — entitas yang nyata, yang mengganti­kan kekuatan ghaib.

Dalam fase positif, akal manusia men­yadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang mutlak. Pendapat Comte, yang menolak agama, diikuti oleh para sosiolog yang lain seperti Emile Durkheim (m. 1917) dan Herbert Spen­cer. Agama, tegas Spencer, bermula dan mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain.

Pemikiran ateistik ikut bergema dalam disiplin psikologi. Sigmund Freud (m. 1939), seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai realitas dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah, satu-satunya jalan untuk mein­bimbing ke arah ilmu pengetahuan.

Kritik terhadap eksistensi Tuhan juga bergema di dalam filsafat. Di dalam kary­anya Thus Spoke Zarathustra, Friedrich Ni­etzsche (1 844-1900) menulis: “God died, now we want the overman to live”~ Dalam pandan­gan Nietzsche, agama adalah “membuat lebih baik sesaat dan membiuskan” (mo­mentary amelioration and narcoticizing))°

Bagi Nietzsche, agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Nietzsche menyatakan: “Seseorang tidak dapat mempercayai dogma-dogma agama dan metafisika ini jika seseorang memili­ki metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran di dalam hati dan ke­pada seseorang.”

Menegaskan perbedaan ruang lingk­up antara agama dan imu pengetahuan, Nietzsche menyatakan: “Antara agama dan sains yang betul, tidak terdapat keter­kaitan, pesahabatan, bahkan permusuhan: keduanya menetap di bintang yang ber­beda.” Ketika Nietzsche mengkritik agama, ia merujuk secara lebih khusus kepada agama Kristen.

Para filosof pasca modernis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Rich­ard Rorty sering menjadikan pemikiran Neitzsche sebagai rujukan. Jika Ni­etzsche mengumandangkan God is died, maka Jacques Derrida pada pertengahan abad ke-20 M mendeklarasikan The author is died.

Selain melahirkan ateisme, episte­mologi Barat modern-sekular telah menyebabkan teologi Kristen menjadi sekular. Pandangan-hidup Kristiani telah mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift).

Selain itu, jika pada zaman perten­gahan (medieval times) agama Kristen adalah sentral dalam peradaban Barat, maka aga­ma ini menjadi pinggiran pada zaman modern. Jika pada zaman pertengahan, para teolog Kristen seperti Santo Augusti­nus, Boethius cm. 524), Johannes Scotus Erigena (m. 877), Santo Anseim (m. 1109), Santo Bonavantura (m. 1274) dan Santo Thomas Aquinas (m. 1274) memodifikasi filsafat Yunani kuno supaya sesuai dengan teologi Kristen, maka kini pada abad ke-20, para teolog Kristen sep­erti Karl Barth (1886-1968), Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), Friedrich Gogarten (1887-1967), Paul van Buren (m. 1998), Thomas Altizer, Gabriel Vah­a,nian, William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, Harvey Cox dan lain-lain memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan peradaban Barat modern-sekular. Mereka menegaskan, aja­ran Kristiani harus disesuaikan dengan pandangan-hidup sains modem yang seku­lar. Mereka membuat penafsiran baru terhadap Bible dan menolak penafsiran lama yang menyatakan ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dan alam ini. Mereka membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gere­ja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti khusus. Mereka harus menafsirkan kembali ajaran agama Kristen supaya tetap relevan dengan perkemban­gan kehidupan masyarakat modern yang sekular.

Pemaparan ringkas diatas menunjuk­kan Westernisasi ilmu, yang bersumber kepada akal dan panca-indera telah mela­hirkan berbagai macam faham dan pemiki -ran seperti empirisme, rasionalisme, hu­manisme, eksistensialisme, materialisme, marxisme, kapitalisme, liberalisme, sos­ialisme, skeptisisme, relatifisme, agnostisme dan ateisme. Westernisasi ilmu telah melenyapkan Wahyu sebagai sumber ilmu. Westernisasi ilmu juga telah menceraikan hubungan keduanya.



II. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Mengingat bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yang populer di tahun 80-an, sejatinya telah dicanangkan kurang lebih dua dekade sebelumnya oleh Syed Mu­hammad Naquib al-Attas, maka kajian mengenai substansi Islamisasi ilmu penge­tahuan kontemporer akan lebih jelas jika merujuk kepada konsep-konsepnya. Selain itu, konsep-konsep yang diajukannya berdasarkan pernahaman yang mendalam terhadap pandangan hidup dan peradaban manusia Barat dan epistemologinya.

Image
Syed Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern­sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problema­tis. Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghi­langkan maksud dan tujuan ilmu.

Sekalipun, peradaban Barat modern meng­hasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebab­kan kerusakan dalam kehidupan manusia.

Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu adalah basil dan kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat kera­guan dan dugaan ke tahap metodologi ‘il­miah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keil­muan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan keper­cayaan agama. Namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spe­kulasi filosofis yang terkait dengan kehidu­pan sekular yang memusatkan manusia se­bagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan mor­al, yang diatur oleb rasio manusia, terus menerus berubah.

limu pengetahuan modern yang diproyeksikan melalui pandangan-hidup itu dibangun di atas visi mntelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat. Menurut Syed Muhammad Naquib al­Attas, ada 5 faktor yang menjiwai budaya peradaban Barat: (1) akal diandal­kan untuk membimbing kehidupan manu­sia; (2) bersikap dualistik terhadap reali-. tas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksisterisi yang memproyeksikan pandan­gan hidup sekular; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.

Karena ilmu pengetahuan dalam bu­daya dan peradaban Barat itujustru meng­hasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat ilmu yang berkembang di Barat tak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa di­jadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup se­suatu kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan be­bas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden).

Memang antara Islam dengan filsafat dan sains modern, sebagaimana yang disadari oleh Syed Muhammad Naquib al­Attas terdapat persamaan khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatu­an cara mengetahui secara nalar dan em­pins, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) men­genai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.

Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang meng­gambarkan realitas dan kebenaran dan sudut pandang rasionalisme dan empiris­esme.

Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is the sole authentic knowledge). Kosong dari Wahyu, ilmu penge­tahuan ini hanya terkait dengan fenome­na. Akibatnya, kesimpulan kepada fenom­ena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tanpa Wahyu, re­alitas yang dipahami hanya terbatas ke­pada alam nyata ini yang dianggap satu­satunya realitas.

Mendiagnosa virus yang terkandung dalam Westernisasi ilmu, Syed Muham­mad Naquib al-Attas mengobatinya den­gan Islamisasi ilmu. Alasannya, tantan­gan terbesar yang dih­adapi kaum Muslimin ad­alah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral dan telah diinfus ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis, yang sebenarn­ya berasal dan refleksi kesadaran dan pengala­man manusia Barat. Jadi, ilmu pengetahuan mod­ern harus diislamkan.

Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi. Selain itu, tidak semua dan Barat berarti ditolak, karena terdapat sejumlah persamaan dengan Is­lam seperti disebutkan di atas. Oleh sebab itu, seseorang yang mengislamkan ilmu, perlu memenuhi pra-syarat, yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandangan­hidup Islam (the Islamic worldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat.

Pandangan-hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebe­naran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusja dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Real itas dan kebenaran dimaknaj berdasar­kan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak.

Jadi, pandangan-hidup Islam mencalc­up dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalain kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansj yang terakhir dan final.

Pandangan hidup Islam tidak ber­dasarkan kepada metode dikotomis sep­erti obyektif dan subyektif, historis dan normatjf. Namun, realitas dan kebenaran dipahamj dengan metode yang menyatu­kan (tawbid). Pandanganhjdup Islam ber­sumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya ibadahnya, doktrinya serta sistem teolog­inya telah ada dalam wahyu dan dijelas­kan oleh Nabi.

Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan progresifitas, perkenibangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (al-ma‘lum min al-din bi al-darürah). Pandanganhidup Islam terdiri dan berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, pen­ciptaan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan.

Konsep-konsep tersebut yang menen­tukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan Pandanganhjdup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.

Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban. Islam adalah aga­ma yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bu­kan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memuliki pandanganhjdup mutlaknya sendiri, merangkumj persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam se­mesta dli. Islam memuliki penafsjran on­tologis, kosmologis dan psikologus tersendini terhadap hakikat. Islam meno­lak ide dekonseknasj nilai karena merelat­ifkan semua sistem akhlak.

Setelah mengetahuj secara mendalam mengenai pandangan~hudup Islam dan Bar­at, maka proses Isiamisasi baru bisa dilaku­kan. Sebabnya, Islamisasi ilmu penge­tahuan saat ini (the Islainization of present-day knowledge), melibatkan dua proses yang sal­ing terkait: mengisolir unsur-unsur dan konsep­konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat (5 unsur yang telah disebutkan sebelumnya), dan setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan hu­maniora. Bagaimanapun ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasu harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsjran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori.

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandan­gan-hudup Islam, maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. ini mencak­up metode, konsep, praduga, simbol dan ilmu modern; beserta aspek-aspek em­pins dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historisi­tas ilmu tersebut, bangunan teori ilmun­ya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klas­ifikasinya, batasannya, hubungan dan kaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubunga­nnya dengan sosial harus diperiksa den­gan teliti.

ii) memasukkan unsur-unsur Islam be­serta konsep.konsep kunci dalam setiap bidang dan ilmu pengetahuan saat ini yang relevant. Jika kedua proses tersebut selesai di­lakukan, maka Islamisasi akan membebas­kan manusia dan magik, mitologi, animis­me, tradisi budaya nasional yang berten­tangan dengan Islam, dan kemudian dan kontrol sekular kepada akal dan bahasan­ya. Islamisasi akan membebaskan akal manusia dan keraguan (sbakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (miro/) menuju keyakmnan akan kebenaran mefi­genai realitas spiritual, intelligible dan ma­ten.42 Islamisasi akan mengeluarkan penal­siran-penafsiran ilmu pengetahuan kon­temporer dan ideologi, makna dan ungkapan sekular.



III. Krifik terhadap Islamisasi Ilmu

Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan menuai kritik dan beberapa pemikir Mus­lim kontemporer seperti Faziur Rahman, Muhsjn Mahdj, Abdus Salam, Abdul Ka­rim Soroush dan Bassam Tibi.

Image
Fazlur Rahman
Menurut Faziur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan kare­na tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakan, Bagi Faziur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertang­gung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika rnemperolehnya.

Fazlur Rahman tepat dengan menya­takan ilmu pengetahuan akan tergantung kepada cara menggunakannya. Bagaim­anapun, Faziur Rahman tampaknya meng­abaikan jika konsep dasar mengenam ilmu pengetahuan itu sendiri telah dibangun di atas pandangan-hidup tertentu. Konsep mengenai Tuhan, manusia, hubungan ant­ara Tuhan dan manusia, alam, agama, sum­ber ilmu akan menentukan cara seseorang memandang ilmu pengetahuan.

Selain itu, pemikiran sekular tampa­knya juga hinggap dalam pemikiran Fa­ziur Rahman. Hal ini tampak jelas, ketika ia berpendapat ilmu tidak perlu menca­pai tingkat finalitas atau keyakinan.

Ia menyatakan: “Jelas bukan suatu keharu­san penafsiran tertentu sekali diterima harus selalu diterima, akan selalu ada ruang dan keharusan Un­tuk penafsiran-penafsiran baru, dan ini sebenarnya proses yang terus berlanjut.”

Berbeda dengan Faziur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas mene­gaskan ilmu pengetahuan dalam hal-hal yang yakin, adalah final, tidak terbuka untuk direvisi oleh generasi kemudian, selain elaborasi dan aplikasi. Penafsiran baru hanya benar terkait dengan aspek­aspek ilmiah al-Qur’an dan fenomena alam.

Pada umumnya, para pengkritmk Islam­isasi ilmu berpendapat sains adalah mengkaji fakta-fakta, objektif dan inde­pendent dan manusia, budaya atau aga­ma, dan harus dipisahkan dan nilai-nilai. Abdus Salam menyatakan:

“Hanya ada satu sains universal, problem-problenin­ya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi atau sains Kris­ten.”

Pernyataan Abdus Salam menunjuk­kan tidak ada yang namanya sains Islam. Pernyataan sekular ini menunjukkan bah­wa Abdus Salam menceraikan pandangan­ hidup Islam menjadi dasar metafisis ke­pada sains. Padahal, pandangan-hidup Is­lam akan selalu terkait dengan pemikiran dan aktivitas seorang saintis. Pernyataan Abdus Salam di atas menunjukkan hasil pemikiran seorang saintis Muslim sekular.

Menurut Prof. Alparsian Açikgenc, pemikiran dan aktivitas ilmiah dibuat di dalam pandangan-hidup saintis yang menyediakan baginya struktur konsep keil­muan tertentu sebagaimana juga panduan etis. Seorang saintis akan bekerja sesuai dengan perspektifnya yang terkait dengan framework dan pandangan-hidup yang di­milikinya.

Kritik terhadap Is­lamisasi ilmu penge­tahuan juga diajukan Abdul Karim Sorush. Ia menyimpulkan, Is­lamisasi ilmu penge­tahuan tidak logis atau tidak mungkin (the inipos­sibility or illogicality of Is­lamization of knowledge). Alasannya, Realitas bu­kan Islami atau bukan pula tidak Islami. Kebe­naran untuk hal tersebut bukan Islami atau bukan pula tidak Isla­mi. Oleh sebab itu, Sains sebagai proposi­si yang benar, bukan Is­lami atau bukan pula tidak Islami.

Para filosof Muslim terdahulu tak per­nah menggunakan istilah filsafat Islam. Is­tilah tersebut adalah label yang diberikan oleh Barat (a western coinage). Mengelabo­rasi ringkas argumentasinya, Abdul Karim Sorush menyatakan:

(1) metode metafisis, empiris atau logis adalah independent dan Islam atau agama apa pun. Metode tidak bisa diis­lamkan; (2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran dan kebenaran tidak bisa diis­lamkan, (3) Pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan adalah mencari kebenaran, sekalipun diajukan oleh Non-Muslim; (4) Metode yang merupakan presupposisi dalam sains tidak bisa diislamkan.

Pandangan alam dalam argumentasi Abdul Karim Sorush adalah realitas se­bagai sebuah perubahan. Ilmu penge­tahuan dibatasi hanya kajian terhadap fenomena yang berubah. Padahal, realitas tetap dan berubah.

Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, reality is at once both perma­ nence and change, not in the sense that change is permanent, but in thes sense that there is something permanent whereby change occurs.

Islamisasi ilmu pengetahuan juga di­anggap sebagai pribumisasi (indigenization), sebagaimana dinyatakan oleh Bassam Tibi. Ia memahami Islamisasi ilmu sebagai tang­gapan dunia ketiga kepada klaim univer­salitas ilmu pengetahuan Barat. Islamisasi adalah menegaskan kembali (nilai-nilai) lokal untuk menentang ilmu pengetahuan global yang menginvasi.

Namun, pemahaman Bassam Tibi tentang Islamisasi sebagai pribumisasi yang terkait dengan lokal tidaklah tepat. Islam­isasi bukanlah memisahkan antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan Barat. Pandangan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih politis dan sosiologis. Hanya karena ummat Islam berada di dalam dunia berkembang dan Barat adalah dunia rnaju, maka gagasan Is­lamisasi ilmu merupakan gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan pàndangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain berbeda. Islamisasi bukan saja mengkri­tik budaya dan peradaban global Barat. Ia juga mentransforinasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandan­gan-alam Islam. Islamisasi adalah menjadi­kan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi dan lokalitas universal agar sesuai dengan agama Islam yang universal.

Sekalipun istilah Islamisasi adalah baru, namun konsep yang terkandung di dalam kata tersebut bukanlah baru. Al­Qur’an, misalnya telah mengislamkan sejumlah kosa-kata Arab yang digunakan pada saat itu. Al-Qur’än mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidang­bidang semantik dan kosa kata. Khususn­ya istilah-istilah dan konsep-konsep kun­ci, yang digunakan untuk memproyeksi­kan hal-hal yang bukan dan pandangan hidup Islam.

Pada “zaman pertengahan,” Islamis­asi telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fa­khruddin al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yu­nani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dan filsafat Yunani kuno yang diteri­ma dan ada juga yang ditolak.

Ringkasnya, gagasan Islamisasi ilmu kontemporer yang diformulasikan Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan suatu “revolusi epistemologis” yang meru­pakan merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Memaknai Ilmu

TENTANG PENGETAHUAN : Manusia pertama, Adam as, telah dimuliakan karena pengetahuan. Namun, pengetahuan yang dimaksud bukanlah berasal dari Adam sendiri, namun diajarkan oleh Allah. Yang diajarkan oleh Allah kepada Adam adalah nama-nama (al-asma’). Nama-nama tersebut bisa dipahami sebagai satuan terkecil bahasa manusia, yang membentuk struktur bahasa yang lebih kompleks. Jadi, bahasa tidak bisa diciptakan sendiri tetapi harus diajarkan. Adapun pola berpikir, maka hal itu sudah diciptakan oleh Allah dalam pikiran manusia secara built-in. Sebagai deskripsi, marilah kita amati seorang bayi. Ia mengenal kata-kata dari lingkungan yang mengajarinya. Namun kata-kata haruslah disusun sedemikian rupa sehingga bermakna dan logis. Pekerjaan menyusun ini dilakukan oleh pikiran manusia. Kemampuan tersebut sudah built-in dalam pikiran manusia, yang akan mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan hidupnya.

Allah telah menciptakan pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai gerbang utama dalam mencerap pengetahuan. Pendengaran dan penglihatan merupakan indera utama bagi obyek-obyek fisik. Adapun hati, maka ia merupakan indera utama bagi obyek-obyek nonfisik.

Diri manusia terdiri dari fakultas fisik dan nonfisik. Fakultas fisik memiliki kebutuhan yang bersifat fisik, seperti makanan, minuman, dan sebagainya. Demikian pula, fakultas nonfisik memiliki kebutuhan yang bersifat nonfisik, seperti ilmu, relijiusitas, dan sebagainya. Dalam hal pengetahuan, fakultas fisik melakukan pencerapan pengetahuan terhadap obyek-obyek fisik. Adapun fakultas nonfisik, maka ia mencerap pengetahuan atas obyek-obyek nonfisik pula. Karena itu, kita bisa mengamati alam fisik ini dengan indera-indera fisik (mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dan sebagainya). Sebaliknya, kita hanya bisa mengetahui obyek-obyek metafisika melalui indera-indera nonfisik pula.

Dalam proses mengetahui, pertama-tama indera fisik kita menangkap obyek fisik. Selanjutnya alam imajinasi kita membuat representasi atas obyek fisik tersebut. Representasi ini bersifat abstrak. Sampai disini, kita telah melakukan proses abstraksi. Selanjutnya, pikiran akan membentuk memori dari representasi obyek tersebut. Memori ini tidak selalu akan bisa sama dengan representasi obyek. Dalam keadaan memori yang buruk misalnya, akan ada beberapa bagian dari representasi obyek yang terluput. Bersamaan dengan proses pembentukan memori, pikiran kita juga melakukan proses memahami. Proses memahami ini dilakukan oleh pola pikir yang memang sudah built-in dalam pikiran manusia. Apabila terdapat lebih dari satu obyek, pola pikir kita akan berusaha untuk mengkait-kaitkan secara logis obyek-obyek tersebut.

Karena pengetahuan kita bersumber dari pengalaman dalam mencerap obyek, maka pikiran kita tidak akan pernah membayangkan sesuatu yang tidak pernah kita alami. Sebagai contoh, apabila seseorang tidak pernah melihat surga maka dalam pikirannya tidak akan mungkin terbayang gambaran yang tepat tentang surga. Dalam kasus semacam ini, yang bisa dilakukan oleh pikiran hanyalah mereka-reka sebatas informasi yang diperoleh. Apabila seseorang memberi informasi kepada kita bahwa didalam surga terdapat pohon, sungai, dan wanita maka pikiran kita hanya bisa membayangkan pohon, sungai, dan wanita sejauh pengalaman yang pernah kita rasakan. Namun apabila Allah pernah menghadirkan surga kepada seseorang melalui mimpi maka barulah orang tersebut bisa memiliki gambaran yang tepat tentang surga, karena memang ia memiliki pengalaman tentang itu.

Pola pikir kita melakukan pekerjaannya secara logis dalam beberapa mode. Diantara mode yang terpenting ialah deduksi, induksi, dan abduksi. Deduksi bisa dibedakan atas deduksi spekulatif dan deduksi yang pasti benar. Pembedaan ini didasarkan pada proposisi umumnya, apakah kebenarannya bersifat spekulatif atau pasti. Apabila proposisi umumnya memiliki kebenaran yang bersifat spekulatif maka proses deduksi tersebut disebut deduksi spekulatif. Namun jika proposisi umum yang dipakai memiliki kebenaran yang bersifat pasti maka deduksi tersebut disebut deduksi yang pasti benar. Proposisi umum yang pasti benar misalnya kaidah matematika dan kaidah logika yang bersifat aksiomatik.

Adapun induksi, maka tingkat kebenarannya berada dibawah tingkat kebenaran yang diperoleh melalui deduksi yang pasti benar. Hal ini disebabkan oleh karena proposisi-proposisi khusus (yang membentuk proposisi umum) hanya benar secara statistik dan sejauh yang dapat diamati. Sebagai contoh, apabila dari berbagai percobaan melempar batu selalu didapatkan bahwa batu jatuh ke bawah maka dari situ ditarik proposisi umum bahwa batu yang dilempar mesti jatuh ke bawah. Proposisi umum ini tidak seratus persen benar, karena tetap saja ada kemungkinan bahwa batu bisa tidak jatuh ke bawah (dan itu terbayangkan, yang berarti masuk akal), hanya saja hal itu belum pernah kita temui. Contoh yang lain berkenaan dengan kausalitas (sebab-akibat). Suatu saat kita melihat Ali bersin tepat setelah Ahmad datang. Untuk kedua kalinya, kita menyaksikan hal yang sama. Tidak cukup sampai di situ, kita ternyata menyaksikan hal yang sama sampai seratus kali. Dari situ, kita menarik proposisi umum bahwa Ali bersin karena Ahmad datang. Proposisi umum ini tidak seratus persen benar karena tidak bisa dijamin bahwa Ali memang bersin karena Ahmad datang. Siapa tahu itu hanyalah kebetulan yang berlangsung berkali-kali. Siapa tahu bahwa pada kali yang keseratus satu, Ahmad datang namun Ali tidak bersin. Jadi, proposisi umum yang ditarik dalam induksi hanya benar sejauh pengalaman yang ada.

Abduksi berarti menarik kesimpulan dengan cara mencoba mengkait-kaitkan beberapa proposisi. Kebenaran yang dihasilkan melalui proses abduksi bersifat mungkin (probable). Contohnya, sekolah sains Al-Hikmah adalah sekolah sains yang menghasilkan saintis-saintis yang berkualitas. Abdussalam adalah seorang saintis yang berkualitas. Dari situ kita tarik kesimpulan bahwa Abdussalam adalah lulusan sekolah sains Al-Hikmah. Kesimpulan ini bersifat mungkin. Ia bisa benar atau salah dengan kemungkinan yang berimbang antara benar dan salah.

Dimensi Praktis dari Pengetahuan (Ilmu)

Kita harus bisa membedakan antara ilmu dan informasi (wawasan). Wawasan hanyalah sarana untuk mencapai ilmu. Ibn Mas’ud mengatakan,”Ilmu bukanlah banyaknya informasi, melainkan (yang bisa mendatangkan) rasa takut kepada Allah”. Jadi, kuantitas informasi tidak selalu sebanding dengan kuantitas ilmu. Apabila ada orang yang sering membaca koran maka yang jelas ia adalah seorang pengumpul informasi. Predikat berilmu baru ia capai apabila ia mampu mencapai manfaat yang hakiki dari berbagai informasi yang ia miliki. Demikian pula dengan orang yang sering membaca buku, tidaklah ia dikatakan berilmu hanya karena ia dengan tepat telah menyalin informasi yang ada dalam buku tersebut kedalam otaknya. Ia baru dikatakan benar-benar berilmu apabila ia mampu melakukan sintesis yang bermakna atas berbagai informasi yang ada dalam buku tersebut. Jadi, kadar keilmuan ditentukan oleh kemampuan melakukan sintesis atas berbagai informasi yang diterima. Hal ini dengan jelas telah dinyatakan dalam Al-Qur’an, yakni bahwa diantara ciri orang yang beriman ialah mencerap sebanyak mungkin informasi (istima’ al-qaul) lalu melakukan sintesis atas semua informasi tersebut untuk mendapatkan kesimpulan yang terbaik (ittiba’ al-ahsan).
TENTANG TAFSIR BIL ‘ILMI TERHADAP AL-QUR’AN

Kita meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan pegangan hidup abadi dan kebenarannya bersifat abadi. Di lain pihak, kita pun sepenuhnya paham bahwa kebenaran sains yang diperoleh melalui metode induktif adalah tidak niscaya. Kebenaran sains yang demikian ini hanyalah berlaku selama belum ada kebenaran baru yang menyalahinya. Pada zaman Ptolemeus, orang-orang sangat yakin bahwa benda-benda langit berputar terhadap bumi (geosentris). Namun ketika muncul Teori Heliosentris Copernican maka kebenaran Teori Geosentris pun batal. Teori Geosentris benar pada zamannya dan Teori Heliosentris pun benar pada zamannya. Berdasarkan sifat kebenaran sains induktif yang tidak niscaya, kita sama sekali tidak dibenarkan menafsirkan Al-Qur’an dengan sains secara “korespondensi satu-satu”.

TENTANG TUJUAN MEMPELAJARI SAINS DAN TEKNOLOGI (IPTEK)

Secara umum, Islam menggariskan dua tujuan dalam mempelajari iptek. Tujuan pertama bersifat etis-normatif sedangkan tujuan kedua bersifat praktis. Pertama-tama, tujuan kita mempelajari iptek ialah untuk lebih memahami ayat-ayat Allah. Ini bersifat etis-normatif, sehingga dalam hal ini tidak harus ada manfaat praktis-material yang dihasilkan. Untuk memenuhi tujuan pertama ini, sains memiliki peran yang lebih dominan daripada teknologi.

Tujuan yang kedua ialah untuk kesejahteraan manusia dan alam. Yang harus dicamkan disini ialah pengertian kesejahteraan. Kesejahteraan yang dimaksudkan tentu saja adalah kesejahteraan yang hakiki dan holistik, bukan kesejahteraan yang semu dan sempalan belaka. Untuk bisa mencapainya, manusia harus pula berpikir secara radikal (menyentuh hakikat) dan komprehensif-integral-holistik.

Kesejahteraan tidak selalu identik dengan kecanggihan. Apalah artinya kecanggihan apabila tidak bisa membawa manusia kepada kesejahteraan yang hakiki dan holistik. Kecanggihan seharusnya diletakkan dalam kerangka atau mengikuti kesejahteraan. Dengan demikian boleh ada kecanggihan dalam kesejahteraan, dimana kecanggihan itu akan menopang kesejahteraan. Namun, tidak boleh ada kecanggihan yang malah merusak kesejahteraan.

Untuk tujuan yang kedua, teknologi – sebagai terapan dari sains – memiliki andil yang lebih dominan daripada sains itu sendiri. Namun perlu dipahami bahwa sains dan teknologi sangat berkaitan satu sama lain. Perkembangan sains memiliki dampak yang lebih besar daripada perkembangan teknologi. Dengan sains yang sama, kita bisa mengembangkan teknologi secara ekstensif dan progresif. Teknologi barulah bisa melompat secara superprogresif apabila terjadi perubahan sains.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Konsepsi Islam tentang Ilmu dan Orang yang Berilmu

Dengan ilmu pengetahuan, Allah telah memuliakan manusia. Adam ’alaihis salam, bapak kita semua, diangkat derajatnya oleh Allah diatas para malaikat karena Allah telah menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, yang tidak diberikan kepada para malaikat. Allah juga berjanji bahwa Dia akan mengangkat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat. Semua ini mempertegas kemuliaan orang yang berilmu pengetahuan.

Pertanyaannya, siapakah orang yang berilmu pengetahuan itu? Apakah seorang profesor? Atau seorang ilmuwan terkemuka? Atau seorang penemu macam Thomas Alfa Edison? Atau siapa? Jawabannya ada dalam Al-Qur’an. Di bagian akhir QS Ali ’Imran Allah Ta’ala menggambarkan tanda-tanda kekuasannya yang terbentang di alam semesta ini (ayat kauniyah), lalu persis sesudah itu memberikan deskripsi kepada kita tentang sosok ulul albab (orang yang berilmu pengetahuan). Dia berfirman,”(Ulul albab ialah) orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Dan mereka senantiasa memikirkan penciptaan langit dan bumi, lalu berkata,’Wahai Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka hindarkanlah kami dari siksa api neraka”.

Disini kita melihat bagaimana Allah mengaitkan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang bersifat kauniyah dengan sosok ulul albab. Ini adalah sebuah indikasi yang amat jelas bahwa ulul albab adalah orang-orang yang senantiasa melakukan tafakkur (perenungan) terhadap ayat-ayat kauniyah. Dan ini semakin jelas ketika Allah memberikan penegasan secara eksplisit: ”(Ulul albab ialah) ... mereka senantiasa memikirkan penciptaan langit dan bumi...”

Namun, tidak hanya sampai disini. Tidaklah semua orang yang merenungi ayat-ayat kauniyah layak disebut sebagai ulul albab. Allah memberikan persyaratan tambahan: ” lalu mereka berkata,’Wahai Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka hindarkanlah kami dari siksa api neraka”. Disini dijelaskan bahwa perenungan terhadap ayat-ayat kauniyah harus membawa seseorang pada sebuah kasadaran dan pengakuan akan kebesaran Allah Sang Pencipta dan Pengatur. Tidak hanya sebuah kesadaran dan pengakuan, namun juga konsekuensi logis dari hal tersebut: meningkatnya rasa takut kepada Allah. Sudah barang tentu ketika seseorang menyadari kebesaran Allah maka iapun akan menjadi takut kepada-Nya. Untuk itulah Allah menjelaskan bagaimana ulul albab sampai pada permohonannya yang tulus: ”Maka hindarkanlah aku dari siksa api neraka.”

Demikianlah konsepsi Al-Qur’an tentang orang yang berilmu pengetahuan, yaitu orang yang senantiasa merenungi ayat-ayat kauniyah, lalu sampai pada kesadaran dan pengakuan pada kebesaran Allah, dan akhirnya sampai pada puncak rasa takut kepada-Nya. Kesimpulannya, ilmu pengetahuan semestinya mengantarkan pemiliknya pada peningkatan ketakwaan dan rasa takut kepada Allah. Dan dengan demikian, dalam Islam seseorang baru disebut berilmu pengetahuan jika ilmu pengetahuan yang dimiliknya mengantarkannya pada rasa takut yang sangat kepada Allah. Dengan tafsiran seperti inilah kita memahami firman Allah dalam QS Faathir: ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu pengetahuan (ulama).”

Lalu bagaimana dengan kenyataan di sekeliling kita dimana kita sering melihat orang-orang yang biasa disebut berilmu pengetahuan, ilmuwan dan semacamnya, namun sama sekali tidak beriman, tidak bertakwa, dan tidak takut kepada Allah. Bahkan mungkin sebaliknya. Jawabannya ada dua kemungkinan. Pertama, mereka belum sampai pada puncak dan hakikat ilmu pengetahuan yang mereka pelajari. Mereka baru mendapati kulit dari ilmu pengetahuan yang mereka pelajari, belum inti dan hakikatnya. Kedua, mereka sudah mendapatkan hakikat dibalik ilmu pengetahuan yang mereka pelajari namun mereka tidak bersikap jujur. Mereka membohongi diri mereka sendiri, dengan motif yang bisa beragam.

Dari konsepsi tentang orang yang berilmu pengetahuan sebagaimana dijelaskan diatas, kita juga menjadi paham mengapa Islam tidak mengenal sekularisasi ilmu pengetahuan. Dalam Islam, ilmu sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan keimanan dan ketakwaan. Tanpa keimanan dan ketakwaan, sesuatu tidak bisa disebut sebagai ilmu. Dan tanpa ilmu, tidak mungkin kita bisa mencapai puncak keimanan dan ketakwaan. Persis seperti dua sisi mata uang.

Karena itu, kita semua punya pekerjaan rumah untuk mengintegrasikan kembali ilmu dan iman, setelah sebelum ini sengaja dipisahkan satu sama lain. Jika kita mampu mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan dan iman-takwa, insyaalah derajat kita akan diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amin.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Membaca Ayat-ayat Allah

Kita, di dunia ini, tidak pernah bisa melihat Allah. Lalu bagaimana kita bisa mengetahui bahwa Allah memang ada dan tidak ada sekutu bagi-Nya? Dan bagaimana kita bisa mengenal-Nya?

Memang, Allah telah menetapkan bahwa kita tidak akan bisa melihat-Nya di dunia ini, namun Allah telah menampakkan kepada kita ayat-ayat-Nya. Kemudian, Allah telah menganugerahkan kepada kita akal pikiran dan hati agar kita bisa memahami ayat-ayat-Nya.

Allah telah menyediakan untuk kita dua jenis ayat. Yang pertama, ayat qauliyah, yaitu ayat-ayat yang Allah firmankan dalam kitab-kitab-Nya. Al-Qur’an adalah ayat qauliyah. Yang kedua, ayat kauniyah, yaitu ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya. Ayat-ayat ini meliputi segala macam ciptaan Allah, baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos). Bahkan diri kita baik secara fisik maupun psikis juga merupakan ayat kauniyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam QS Fushshilat ayat 53:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Hubungan antara Ayat Qauliyah dan Ayat Kauniyah

Antara ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah terdapat hubungan yang sangat erat karena keduanya sama-sama berasal dari Allah. Kalau kita memperhatikan ayat qauliyah, yakni Al-Qur’an, kita akan mendapati sekian banyak perintah dan anjuran untuk memperhatikan ayat-ayat kauniyah. Salah satu diantara sekian banyak perintah tersebut adalah firman Allah dalam QS Adz-Dzariyat ayat 20-21:

“Dan di bumi terdapat ayat-ayat (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”

Dalam ayat diatas, jelas-jelas Allah mengajukan sebuah kalimat retoris: “Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” Kalimat yang bernada bertanya ini tidak lain adalah perintah agar kita memperhatikan ayat-ayat-Nya yang berupa segala yang ada di bumi dan juga yang ada pada diri kita masing-masing. Inilah ayat-ayat Allah dalam bentuk alam semesta (ath-thabi’ah, nature).

Dalam QS Yusuf ayat 109, Allah berfirman: “Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka?”

Ini juga perintah dari Allah agar kita memperhatikan jenis lain dari ayat-ayat kauniyah, yaitu sejarah dan ihwal manusia (at-tarikh wal-basyariyah).

Disamping itu, sebagian diantara ayat-ayat kauniyah juga tidak jarang disebutkan secara eksplisit dalam ayat qauliyah, yakni Al-Qur’an. Tidak jarang dalam Al-Qur’an Allah memaparkan proses penciptaan manusia, proses penciptaan alam semesta, keadaan langit, bumi, gunung-gunung, laut, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Bahkan ketika para ilmuwan menyelidiki dengan seksama paparan dalam ayat-ayat tersebut, mereka terkesima dan takjub bukan kepalang karena menemukan keajaiban ilmiah pada ayat-ayat tersebut, sementara Al-Qur’an diturunkan beberapa ratus tahun yang lalu, dimana belum pernah ada penelitian-penelitian ilmiah.

Karena itu, tidak hanya ayat-ayat qauliyah yang menguatkan ayat-ayat kauniyah. Sebaliknya, ayat-ayat kauniyah juga senantiasa menguatkan ayat-ayat qauliyah. Adanya penemuan-penemuan ilmiah yang menegaskan kemukjizatan ilmiah pada Al-Qur’an tidak diragukan lagi merupakan bentuk penguatan ayat-ayat kauniyah terhadap kebenaran ayat-ayat qauliyah.

Kewajiban Kita terhadap Ayat-ayat Allah

Setelah kita mengetahui bentuk ayat-ayat Allah, yang menjadi penting untuk dipertanyakan adalah apa yang harus kita lakukan terhadap ayat-ayat tersebut. Atau dengan kata lain, apa kewajiban kita terhadap ayat-ayat tersebut? Dan jawabannya ternyata hanya satu kata: iqra’ (bacalah), dan inilah perintah yang pertama kali Allah turunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq: 1-5)

Lalu bagaimana kita membaca ayat-ayat Allah? Jawabannya ada pada dua kata: tadabbur dan tafakkur.

Terhadap ayat-ayat qauliyah, kewajiban kita adalah tadabbur, yakni membacanya dan berusaha untuk memahami dan merenungi makna dan kandungannya. Sedangkan terhadap ayat-ayat kauniyah, kewajiban kita adalah tafakkur, yakni memperhatikan, merenungi, dan mempelajarinya dengan seksama. Dan untuk melakukan dua kewajiban tersebut, kita menggunakan akal pikiran dan hati yang telah Allah karuniakan kepada kita.

Mengenai kewajiban tadabbur, Allah memberikan peringatan yang sangat keras kepada orang yang lalai melakukannya. Allah berfirman dalam QS Muhammad ayat 24: “Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”

Dan mengenai kewajiban tafakkur, Allah menjadikannya sebagai salah satu sifat orang-orang yang berakal (ulul albab). Dalam QS Ali ‘Imran ayat 190 – 191, Allah berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka mentafakkuri (memikirkan) tentang penciptaan langit dan bumi (lalu berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Tujuan Membaca Ayat-ayat Allah

Tujuan utama dan pertama kita membaca ayat-ayat Allah adalah agar kita semakin mengenal Allah (ma’rifatullah). Dan ketika kita telah mengenal Allah dengan baik, secara otomatis kita akan semakin takut, semakin beriman, dan semakin bertakwa kepada-Nya. Karena itu, indikasi bahwa kita telah membaca ayat-ayat Allah dengan baik adalah meningkatnya keimanan, ketakwaan, dan rasa takut kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Yang semestinya terjadi pada diri kita setelah kita membaca ayat-ayat qauliyah adalah sebagaimana firman Allah berikut ini: “Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS Al-Anfal: 2)

Dan yang semestinya terjadi pada diri kita setelah kita membaca ayat-ayat kauniyah adalah sebagaimana firman Allah berikut ini: “Dan mereka mentafakkuri (memikirkan) tentang penciptaan langit dan bumi (lalu berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran: 191)

Selanjutnya, kita juga membaca ayat-ayat Allah agar kita memahami sunnah-sunnah Allah (sunnatullah), baik itu sunnah Allah pada manusia dalam bentuk ketentuan syar’i (taqdir syar’i) maupun sunnah Allah pada ciptaan-Nya dalam bentuk ketentuan penciptaan (taqdir kauni).

Dengan memahami ketentuan syar’i, kita bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan syariat yang ia kehendaki, dan dalam hal ini kita bebas untuk memilih untuk taat atau ingkar. Namun, apapun pilihan kita, taat atau ingkar, memiliki konsekuensinya masing-masing.

Adapun dengan memahami ketentuan penciptaan, baik itu mengenai alam maupun sejarah dan ihwal manusia, kita akan mampu memanfaatkan alam dan sarana-sarana kehidupan untuk kemakmuran bumi dan kesejahteraan umat manusia. Dengan pemahaman yang baik mengenai ketentuan tersebut, kita akan mampu mengelola kehidupan tanpa melakukan perusakan. Wallahu a’lam bish-shawab.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Keajaiban Matematika dalam Al-quran

Keajaiban Matematika dalam Al-quran


Keajaiban Al Quran dilihat dari sisi kandungannya telah banyak ditulis dan diketahui, tetapi keajaiban dilihat dari bagaimana Al Quran ditulis/disusun mungkin belum banyak yang mengetahui. Orang-orang non-muslim khususnya kaum orientalis barat sering menuduh bahwa Al Qur’an adalah buatan Muhammad. Padahal kalau kita baca Al Qur’an ada ayat yang menyatakan tantangan kepada orang-orang kafir khususnya untuk membuat buku/kitab seperti Al Quran dimana hal ini tidak mungkin akan dapat dilakukannya meskipun jin dan manusia bersatu padu membuatnya. Tulisan singkat ini bertujuan untuk menyajikan beberapa keajaiban Al Qur’an dilihat dari segi bagaimana Al Qur’an ditulis, dan sekaligus secara tidak langsung juga untuk menyangkal tuduhan tersebut, dimana Muhammad sebagai manusia biasa tidak mungkin dapat melakukan atau menciptakan sebuah Al Qur’an. Pandangan sains secara konvensional menempatkan matematika sebagai suatu yang prinsipil dari sebuah cabang pengetahuan dimana alasan dikedepankan, emosi tidak dilibatkan, kepastian menjadi hal yang ingin diketahui, dan kebenaran hari ini merupakan kebenaran untuk selamanya. Dalam masalah agama, ilmuan memandang bahwa semua agama sama, karena semua agama sama-sama tidak mampu memverifikasi atau menjustifikasi kebenaran melalui pembuktian yang dapat diterima oleh logika. Jadi suatu hal dikatakan valid jika ada bukti nyata, dan pembuktian ini merupakan sebuah prosedur yang dibentuk untuk membuktikan suatu realitas yang tak terlihat melalui sebuah proses deduksi dan konklusi yang hasil akhirnya dapat diterima oleh semua pihak. Dengan dasar tersebut, tulisan ini mencoba untuk membawa pembaca pada suatu kesimpulan bahwa Al Qur’an yang ditulis menurut aturan matematika, merupakan bukti nyata bahwa Al Qur’an adalah benar-benar firman Allah dan bukan buatan Nabi Muhammad. Kiranya patut juga direnungi apa yang dikatakan oleh Galileo (1564-1642 AD) bahwa . “Mathematics is the language in which God wrote the universe (Matematika adalah bahasa yang digunakan Tuhan dalam menuliskan alam semesta ini)” ada benarnya. Kebenaran bahasa matematika tersebut akan dibahas sekilas sebagai tambahan dari tema utama tulisan ini.

Angka-angka Menakjubkan dari Beberapa Kata dalam Al Qur’an

Kalau kita buka Al Quran dan kita perhatikan beberapa kata dalam Al Quran dan menghitung berapa kali kata tersebut disebutkan dalam Al Quran, kita akan peroleh suatu hal yang sangat menakjubkan. Mungkin kita betanya, berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencari dan menghitungnya. Dengan kemajuan teknologi khususnya komputer, hal tersebut tidak menjadi masalah. Tabel 1 menyajikan frekuensi penyebutan beberapa kata penting dalam Al Qur’an yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan tabel tersebut ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik. Misalnya pada kata “dunya” dan “akhirat” yang disebutkan dalam Al Qur’an dengan frekuensi sama, kita dapat menafsirkan bahwa Allah menyuruh umat manusia untuk memperhatikan baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat secara seimbang. Artinya kehidupan dunia dan akhirat sama-sama penting bagi orang Islam. Selanjutnya pada penyebutan kata “malaaikat” dan “syayaathiin” juga disebutkan secara seimbang. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa kebaikan yang direfleksikan oleh kata “malaaikah” akan selalu diimbangi oleh adanya kejahatan yang direfleksikan oleh kata “syayaathiin”. Hal lain juga dapat kita kaji pada beberapa pasangan kata yang lain.

Tabel 1. Jumlah Penyebutan beberapa Kata Penting dalam Al Quran

Sumber: From the Numeric Miracles In the Holy Qur’an by Suwaidan, www.islamicity.org


Beberapa kata lain yang menarik dari tabel tersebut adalah kata “syahr (bulan)” yang disebutkan sebanyak 12 kali yang menunjukkan bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah 12, dan kata “yaum (hari)” yang disebutkan sebanyak 365 kali yang menunjukkan jumlah hari dalam setahun adalah 365 hari. Selanjutnya Kata “lautan (perairan)” disebutkan sebanyak 32 kali, dan kata “daratan” disebut dalam Al Quran sebanyak 13 kali. Jika kedua bilangan tersebut kita tambahkan kita dapatkan angka 45.


Sekarang kita lakukan perhitungan berikut:

· Dengan mencari persentase jumlah kata “bahr (lautan)” terhadap total jumlah kata (bahr dan barr) kita dapatkan:
(32/45)x100% = 71.11111111111%

· Dengan mencari persentase jumlah kata “barr (daratan)” terhadap total jumlah kata (bahr dan barr) kita dapatkan:
(13/45)x100% = 28.88888888889%

Kita akan mendapatkan bahwa Allah SWT dalam Al Quran 14 abad yang lalu menyatakan bahwa persentase air di bumi adalah 71.11111111111%, dan persentase daratan adalah 28.88888888889%, dan ini adalah rasio yang riil dari air dan daratan di bumi ini.

Al Qur’an Didisain Berdasarkan Bilangan 19

Dalam kaitannya dengan pertanyaan yang bersifat matematis yang hanya memiliki satu jawaban pasti, maka jika ada beberapa ahli matematika, yang menjawab di waktu dan tempat yang berbeda dan dengan menggunakan metode yang berbeda, maka tentunya akan memperoleh jawaban yang sama. Dengan kata lain, pembuktian secara matematis tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Perlu diketahui bahwa dari seluruh kitab suci yang ada di dunia ini, Al Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci yang seluruhnya ditulis dalam bahasa aslinya. Berkaitan dengan pembuktian, kebenaran Al Qur’an sebagai wahyu Allah yang sering dikatakan oleh orang barat sebagai ciptaan Muhammad, dapat dibuktikan secara matematis bahwa Al Qur’an tidak mungkin diciptakan oleh Muhammad. Adalah seorang ahli biokimia berkebangsaan Amerika keturunan Mesir dan seorang ilmuan muslim, Dr. Rashad Khalifa yang pertama kali menemukan sistem matematika pada desain Al Qur’an. Dia memulai meneliti komposisi matematik dari Al Quran pada 1968, dan memasukkan Al Qur’an ke dalam sistem komputer pada 1969 dan 1970, yang diteruskan dengan menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Inggris pada awal 70-an. Dia tertantang untuk memperoleh jawaban untuk menjelaskan tentang inisial pada beberapa surat dalam Al Qur’an (seperti Alif Lam Mim) yang sering diberi penjelasan hanya dengan “hanya Allah yang mengetahui maknanya”. Dengan tantangan ini, dia memulai riset secara mendalam pada inisial-inisial tersebut setelah memasukkan teks Al Qur’an ke dalam sistem komputer, dengan tujuan utama mencari pola matematis yang mungkin akan menjelaskan pentingnya inisial-inisial tersebut. Setelah beberapa tahun melakukan riset, Dr. Khalifa mempublikasikan temuan-temuan pertamanya dalam sebuah buku berjudul “MIRACLE OF THE QURAN: Significance of the Mysterious Aphabets” pada Oktober 1973 bertepatan dengan Ramadan 1393. Pada buku tersebut hanya melaporkan bahwa inisial-inisial yang ada pada beberapa surat pada Al Qur’an memiliki jumlah huruf terbanyak (proporsi tertinggi) pada masing-masing suratnya, dibandingkan huruf-huruf lain. Misalnya, Surat “Qaaf” (S No. 50) yang dimulai dengan inisial “Qaaf” mengandung huruf “Qaaf” dengan jumlah terbanyak. Surat “Shaad” (QS No. 38) yang memiliki inisial “Shaad”, mengandung huruf “Shaad” dengan proporsi terbesar. Fenomena ini benar untuk semua surat yang berinisial, kecuali Surat Yaa Siin (No. 36), yang menunjukkan kebalikannya yaitu huruf “Yaa” dan “Siin” memiliki proporsi terendah. Berdasarkan temuan tersebut, pada awalnya dia hanya berfikir sampai sebatas temuan tersebut mengenai inisial pada Al Qur’an, tanpa menghubungkan frekuensi munculnya huruf-huruf yang ada pada inisial surat dengan sebuah bilangan pembagi secara umum (common denominator). Akhirnya, pada Januari 1974 (bertepatan dengan Zul-Hijjah 1393), dia menemukan bahwa bilangan 19 sebagai bilangan pembagi secara umum[1] dalam insial-inisial tersebut dan seluruh penulisan dalam Al Qur’an, sekaligus sebagai kode rahasia Al Qur’an. Temuan ini sungguh menakjubkan karena seluruh teks dalam Al Qur’an tersusun secara matematis dengan begitu canggihnya yang didasarkan pada bilangan 19 pada setiap elemen sebagai bilangan pembagi secara umum. Sistem matematis tersebut memiliki tingkat kompleksitas yang bervariasi dari yang sangat sederhana (bisa dihitung secara manual) sampai dengan yang sangat kompleks yang harus memerlukan bantuan program komputer untuk membuktikan apakah kelipatan 19. Jadi, sistem matematika yang didasarkan bilangan 19 yang melekat pada Al Quran dapat diapresiasi bukan hanya oleh orang yang memiliki kepandaian komputer dan matematika tingkat tinggi, tetapi juga oleh orang yang hanya dapat melakukan penghitungan secara sederhana.


Selain 19 sebagai kode rahasia Al Qur’an itu sendiri, peristiwa ditemukannya bilangan 19 sebagai “miracle” dari Al Qur’an juga dapat dihubungkan dengan bilangan 19 sebagai kehendak Allah. Disebutkan di atas bahwa kode rahasia tersebut ditemukan pada tahun 1393 Hijriah. Al Qur’an diturunkan pertama kali pada 13 tahun sebelum Hijriah (hijrah Nabi). Jadi keajaiban Al Qur’an ini ditemukan 1393+13=1406 tahun (dalam hitungan hijriah) setelah Al Qur’an diturunkan, yang bertepatan dengan tahun 1974 M.


Surah 74 adalah Surah Al Muddatsir yang berarti orang yang berkemul (Al Quran dan Terjemahnya, Depag) dan juga dapat berarti rahasia yang tesembunyi, yang memang mengandung rahasia Allah mengenai keajaiban Al Qur’an. Dalam Surah 74 ayat 30-36 dinyatakan:

(74:30) Di atasnya adalah 19.

(74:31) Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami jadikan bilangan mereka itu (19) melainkan untuk:

- cobaan/ujian/tes bagi orang-orang kafir,

- meyakinkan orang-orang yang diberi Al Kitab (Nasrani dan Yahudi),

- memperkuat (menambah)keyakinan orang yang beriman,

- menghilangkan keragu-raguan pada orang-orang yang diberi Al kitab dan juga orang-orang yang beriman, dan

- menunjukkan mereka yang ada dalam hatinya menyimpan keragu-raguan; dan orang-orang kafir mengatakan: “Apakah yang dikehendaki Allah dengan perumpamaan ini?” Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia. Dan ini tiada lain hanyalah sebuah peringatan bagi manusia.

(74:32) Sungguh, demi bulan.

(74:33) Dan malam ketika berlalu.

(74:34) Dan pagi (subuh) ketika mulai terang.

(74:35) Sesungguhnya ini (bilangan ini) adalah salah satu dari keajaiban yang besar.

(74:36) Sebagai peringatan bagi umat manusia.


Sebagian besar ahli tafsir menafsirkan 19 sebagai jumlah malaikat. Menurut Dr. Rashad Khalifa, menafsirkan bilangan 19 sebagai jumlah malaikat adalah tidak tepat karena bagaimana mungkin jumlah malaikat dapat dijadikan untuk ujian/tes bagi orang-orang kafir, untuk meyakinkan orang-orang nasrani dan yahudi, untuk meningkatkan keimanan orang yang telah beriman dan juga untuk menghilangkan keragu-raguan. Jadi, tepatnya bilangan 19 ini merupakan keajaiban yang besar dari Al Qur’an sesuai ayat 35 di atas, menurut terjemahan Dr. Rashad Khalifa (dan juga terjemahan beberapa penterjemah lain). Jadi pada ayat 35 kata “innahaa” merujuk pada kata “’iddatun” pada ayat 31.


Mengapa 19?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijelaskan tentang sistem bilangan. Kita pasti mengenal betul sistem bilangan Romawi yang masih sangat dikenal pada saat ini, seperti I=1, V=5, X=10, L=50, C=100, D=500 dan M=1000. Seperti halnya pada sistem bilangan Romawi, sistem bilangan juga dikenal pada huruf-huruf arab. Bilangan yang ditandai pada setiap huruf dikenal sebagai “nilai numerik (numerical value atau gematrical value)”. Click link ini untuk mengetahui lebih jauh tentang nilai numerik.

Setelah mengetahui nilai dari setiap huruf arab tersebut, kita dapat menjawab mengapa 19 dipakai sebagai kode rahasia Allah dalam Al Qur’an, dan sekaligus dapat digunakan untuk mengungkap keajaiban Al Qur’an. Berikut beberapa hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa 19.


* 19 merupakan nilai numerik dari kata “Waahid” dalam bahasa arab yang artinya ‘esa/satu’ (lihat Tabel 2) Tabel 2. Nilai numerik dari kata “waahid”


* 19 merupakan bilangan positif pertama dan terakhir (1 dan 9), yang dapat diartikan sebagai Yang Pertama dan Yang Terakhir seperti yang dikatakan Allah, misalnya, pada QS 57 ayat 3 sebagai berikut: “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS 57:3). Kata “waahid” dalam Qur’an disebutkan sebanyak 25 kali, dimana 6 diantaranya tidak merujuk pada Allah (seperti salah satu jenis makanan, pintu, dsb). Sisanya 19 kali merujuk pada Allah. Total jumlah dari (nomor surat + jumlah ayat pada masing-masing surat) dimana 19 kata “waahid” yang merujuk pada Allah adalah 361 = 19 x 19. Jadi 19 melambangkan keesaan Allah (Tuhan Yang Esa).

* Pilar agama Islam yang pertama juga dikodekan dengan 19

“La – Ilaha – Illa – Allah”

Nilai-nilai numerik dari setiap huruf arab pada kalimah syahadat di atas adalah dapat ditulis sebagai berikut

“30 1 – 1 30 5 – 1 30 1 – 1 30 30 5”

Jika susunan angka tersebut ditulis menjadi sebuah bilangan, diperoleh = 30113051301130305 = 19 x … atau merupakan bilangan yang mempunyai kelipatan 19. Jadi jelaslah bahwa 19 merujuk kepada keesaan Allah sebagai satu-satunya dzat yang wajib disembah.

Beberapa Contoh Bukti-bukti yang Sangat Sederhana tentang Kode 19

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa desain Al Qur’an yang didasarkan bilangan 19 ini, dapat dibuktikan dari penghitungan yang sangat sederhana sampai dengan yang sangat komplek. Berikut ini hanya sebagian kecil dari keajaiban Al Quran (sistim 19) yang dapat ditulis dalam artikel singkat ini. Fakta-fakta yang sangat sederhana:

(1) Kalimat Basmalah pada (QS 1:1) terdiri dari 19 huruf arab.

(2) QS 1:1 tersebut diturunkan kepada Muhammad setelah Surat 74 ayat 30 yang artinya “Di atasnya adalah 19”.

(3) Al Qur’an terdiri dari 114 surah, 19×6.

(4) Ayat pertama turun (QS 96:1) terdiri dari 19 huruf.

(5) Surah 96 (Al Alaq) ditempatkan pada 19 terakhir dari 114 surah (dihitung mundur dari surah 114), dan terdiri dari 19 ayat

(6) Surat terakhir yang turun kepada Nabi Muhammad adalah Surah An-Nashr atau Surah 110 yang terdiri dari 3 ayat. Surah terakhir yang turun terdiri dari 19 kata dan ayat pertama terdiri dari 19 huruf.

(7) Kalimat Basmalah berjumlah 114 (19×6). Meskipun pada Surah 9 (At Taubah) tidak ada Basmalah pada permulaan surah sehingga jumlah Basmalah kalau dilihat pada awal surah kelihatan hanya 113, tetapi pada Surah 27 ayat 30 terdapat ekstra Basmalah (dan juga 27+30=57, atau 19 x 3). Dengan demikian jumlah Basmalah tetap 114.

(8) Jika dihitung jumlah surah dari surah At Taubah (QS 9) yang tidak memiliki Basmalah sampai dengan Surah yang memuat 2 Basmalah yaitu S 27, ditemukan 19 surah. Dan total jumlah nomor surah dari Surah 9 sampai Surah 27 diperoleh (9+10+11+…+26+27=342) atau 19×18. Total jumlah ini (342) sama dengan jumlah kata antara dua kalimat basmalah dalam Surat 27.

(9) Berkaitan dengan inisial surah, misalnya ada dua Surah yang diawali dengan inisial “Qaaf” yaitu Surah 42 yang memiliki 53 ayat dan Surah 50 yang terdiri dari 45 ayat. Jumlah huruf “Qaaf” pada masing-masing dua surat tersebut adalah 57 atau 19 x 3. Jika kita tambahkan nomor surah dan jumlah ayatnya diperoleh masing-masing adalah (42+53=95, atau 19 x 5) dan (50+45=95, atau 19 x 5). Selanjutnya initial “Shaad” mengawali tiga surah yang berbeda yaitu Surah 7, 19, dan 38. Total jumlah huruf “Shaad” di ketiga surah tersebut adalah 152, atau 19 x 8. Hal yang sama berlaku untuk inisial yang lain.

(10) Frekuensi munculnya empat kata pada kalimat Basmalah dalam Al Qur’an pada ayat-ayat yang bernomor merupakan kelipatan 19 (lihat Tabel 3)

Tabel 3: Empat kata dalam Basmalah dan frekuensi penyebutan dalam ayat-ayat yang bernomor dalam Al Quran


No. Kata Frekuensi muncul

1 Ism 19

2 Allah 2698 (19×142)

3 Al-Rahman 57 (19×3)

4 Al-Rahiim 114 (19×6)



(11) Ada 14 huruf arab yang berbeda yang membentuk 14 set inisial pada beberapa surah dalam Al Qur’an, dan ada 29 surah yang diawali dengan inisial (seperti Alif-Lam-Mim). Jumlah dari angka-angka tersebut diperoleh 14+14+29=57, atau 19×3.

(12) Antara surah pertama yang berinisial (Surah 2 atau Surah Al Baqarah) dan surah terakhir yang berinisial (Surah 68), terdapat 38 surah yang tidak diawali dengan inisial, 38=19×2.

(13) Al-Faatihah adalah surah pertama dalam Al-Quran, No.1, dan terdiri dri 7 ayat, sebagai surah pembuka (kunci) bagi kita dalam berhubungan dengan Allah dalam shalat. Jika kita tuliskan secara berurutan Nomor surah (No. 1) diikuti dengan nomor setiap ayat dalam surah tersebut, kita dapatkan bilangan: 11234567. Bilangan ini merupakan kelipatan 19. Hal ini menunjukkan bahwa kita membaca Al Faatihah adalah dalam rangka menyembah dan meng-Esakan Allah.

Selanjutnya, jika kita tuliskan sebuah bilangan yang dibentuk dari nomor surah (1) diikuti dengan bilangan-bilangan yang menunjukkan jumlah huruf pada setiap ayat (lihat Tabel 4), diperoleh bilangan : 119171211191843 yang juga merupakan kelipatan 19.

Tabel 4: Jumlah huruf pada setiap ayat dalam Surah Al Faatihah


(14) Ketika kita membaca Surah Al-Fatihah (dalam bahasa arab), maka bibir atas dan bawah akan saling bersentuhan tepat 19 kali. Kedua bibir kita akan bersentuhan ketika mengucapkan kata yang mengandung huruf “B atau Ba’” dan huruf “M atau Mim”. Ada 4 huruf Ba’ dan 15 huruf Mim. Nilai numerik dari 4 huruf Ba’ adalah 4×2=8, dan nilai numerik dari 15 huruf Mim adalah 15×40=600. Total nilai numerik dari 4 huruf Ba’ dan 15 huruf Mim adalah 608=19×32 (lihat Tabel 5).

Tabel 5. Kata-kata dalam Surah Al-Fatihah yang mengandunghuruf Ba’ dan Mim beserta nilai numeriknya

Kejadian Di Alam Semesta yang Terkait dengan Bilangan 19

Beberapa kejadian lain di alam ini dan juga dalam kehidupan kita sehari-hari yang mengacu pada bilangan 19 adalah:

· Telah dibuktikan bahwa bumi, matahari dan bulan berada pada posisi yang relatif sama setiap 19 tahun

· Komet Halley mengunjungi sistim tata surya kita sekali setiap 76 tahun (19×4).

· Fakta bahwa tubuh manusia memiliki 209 tulang atau 19×11.

· Langman’s medical embryology, oleh T. W. Sadler yang merupakan buku teks di sekolah kedokteran di Amerika Serikat diperoleh pernyataan “secara umum lamanya kehamilan penuh adalah 280 hari atau 40 minggu setelah haid terakhir, atau lebih tepatnya 266 hari atau 38 minggu setelah terjadinya pembuahan”. Angka 266 dan 38 kedua-duanya adalah kelipatan dari 19 atau 19×14 dan 19×2.

Lima Pilar Islam (Rukun Islam) dan Sistem 19

Islam adalah agama yang dibawa oleh seluruh nabi sejak Nabi Ibrahim sebagai the founding father of Islam (misalnya lihat QS 2:67, 130-136; QS 5:44, 111; QS 3:52).Pesan utama yang disampaikan oleh seluruh Nabi sejak Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad adalah sama yaitu menyembah Allah yang Esa, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji. Allah menyempurnakan Islam melalui Nabi Muhammad. Jadi praktek shalat, zakat, puasa dan haji telah dilakukan dan diajarkan oleh Nabi-nabi sejak Nabi Ibrahim. Dari kelima pilar agama Islam, dapat ditunjukkan bahwa semua berkaitan dengan sistim bilangan 19 (kelipatan 19).

· Syahadat

Telah dibahas di atas bahwa pilar pertama agama Islam “Laa Ilaaha Illa Allah” didisain berdasarkan bilangan 19.

· Shalat

Kata “shalawat” yang merupakan bentuk jamak dari kata “shalat“ muncul di Al Qur’an sebanyak 5 kali. Ini menunjukkan bahwa perintah Allah untuk melaksanakan shalat 5 kali sehari dikodekan di Al Qur’an. Selanjutnya jumlah rakaat dalam shalat dikodekan dengan bilangan 19. Jumlah rakaat pada shalat subuh, zuhur, ashar, maghrib dan isya masing-masing adalah 2,4,4,3, dan 4 rakaat. Jika jumlah rakaat tersebut disusun menjadi sebuah angka 24434 merupakan bilangan kelipatan 19 atau (24434 = 19×1286). Digit 1286 kalau dijumlahkan akan didapat angka 17 (1+2+8+6) yang merupakan jumlah rakaat shalat dalam sehari. Untuk hari Jum’at jumlah rakaat Shalat adalah 15, karena Shalat Jum’at hanya 2 rakaat. Ini juga dapat dikaitkan dengan bilangan 19 (kelipatan 19). Jika kita buat hari Jum’at sebagai hari terakhir, maka jumlah rakaat shalat mulai hari Sabtu sampai Jum’at dapat ditulis secara berurutan sebagai berikut: 17 17 17 17 17 17 15. Jika urutan bilangan tersebut kita jadikan menjadi satu bilangan 17171717171715, maka bilangan tersebut merupakan bilangan dengan kelipatan 19 atau (19 x 903774587985). Jadi pada intinya shalat itu menyembah Tuhan yang Satu (ingat: 19 adalah total nilai numerik dari kata ‘waahid’). Surah Al-Fatihah yang dibaca dalam setiap rakaat dalam Shalat seperti dibahas sebelumnya juga mengacu pada bilangan 19. Selanjutnya, kata “Shalat’ dalam Al Qur’an disebutkan sebanyak 67 kali. Jika kita jumlahkan nomor surat-surat dan nomor ayat-ayat dimana ke 67 kata “Shalat” disebutkan, diperoleh total 4674 atau 19×246.

· Puasa

Perintah puasa dalam Al Qur’an disebutkan pada ayat-ayat berikut:

- 2:183, 184, 185, 187, 196;

- 4:92; 5:89, 95;

- 33:35, 35; dan

- 58:4.

Total jumlah bilangan tersebut adalah 1387, atau 19×73. Perlu diketahui bahwa QS 33:35 menyebutkan kata puasa dua kali, satu untuk orang laki-laki beriman dan satunya lagi untuk wanita beriman.

· Kewajiban Zakat dan Menunaikan Haji ke Mekkah

Sementara tiga pilar pertama diwajibkan kepada semua orang Islam laki-laki dan perempuan, Zakat dan Haji hanya diwajibkan kepada mereka yang mampu. Hal ini menjelaskan fenomena matematika yang menarik yang berkaitan dengan Zakat dan Haji.

Zakat disebutkan dalam Al Qur’an pada ayat-ayat berikut:

Penjumlahan angka-angka tersebut diperoleh 2395. Total jumlah ini jika dibagi dengan 19 diperoleh sisa 1 (bilangan tersebut tidak kelipatan 19).

Haji disebutkan dalam Al Qur’an pada ayat-ayat

- 2:189, 196, 197;

- 9:3; dan

- 22:27.

Total penjumlahan angka-angka tersebut diperoleh 645, dan angka ini tidak kelipatan 19 karena jika angka tersebut dibagi 19 kurang 1.

Kemudian jika dari kata Zakat dan Haji digabungkan diperoleh nilai total 2395+645 = 3040 = 19x160.

Penutup
Secara umum disimpulkan bahwa Al Qur’an didisain secara matematis. Apa yang dibahas di atas hanyalah sebagian kecil dari ribuan bukti tentang desain matematis dari Al Qur’an dan khususnya tentang bilangan dasar 19 sebagai desain Al Qur’an yang dapat disajikan pada tulisan ini. Selain itu, tulisan ini hanya memfokuskan pada contoh-contoh yang sangat sederhana, sementara untuk contoh-contoh yang sangat kompleks tidak disajikan di sini karena mungkin akan sulit dipahami oleh orang yang tidak memiliki latar belakang atau kurang memahami matematika. Bilangan 19 yang juga berarti Allah yang Esa, dan juga berarti tidak ada Tuhan melainkan Dia, dapat dikatakan sebagai “Tanda tangan Allah” di alam semesta ini. Hal ini sesuai dengan salah satu firman Allah yang menyatakan bahwa seluruh alam ini tunduk dan sujud kepada Allah dan mengakui keesaan Allah. Hanya orang-orang kafir lah yang tidak mau sujud dan mengakui keesaan Allah. Allah dalam menciptakan Al Qur’an dan alam semesta ini telah melakukan perhirtungan secara detail, seperti firman Allah yang berbunyi: “dan Allah menghitung segala sesuatunya satu per satu (secara detail)” (QS 72:28). Jumlahkan angka-angka pada nomor surah dan ayat tersebut !!!!!! Anda memperoleh angka 19 (7+2+2+8=19). Dari uraian di atas khususnya mengenai lima pilar Islam diperoleh kesimpulan yang sangat tegas bahwa pemeluk Islam adalah orang-orang yang pasrah dan tunduk menyembah dan mengakui keesaan Allah seperti yang ditunjukkan bahwa kelima pilar Islam tersebut berkaitan dengan sistim bilangan 19 (nilai numerik dari kata “waahid” atau Esa). Hal ini juga sesuai dengan Islam sendiri yang yang secara harfiah dapat berarti pasrah/tunduk. Hal lain yang dapat diambil sebagai pelajaran dari sistim bilangan 19 sebagai disain Al Qur’an adalah terpecahkannya “unsolved problem” mengenai perdebatan di antara para ulama terhadap status “Basmalah” pada Surah Al-Faatihah apakah termasuk salah satu ayat dalam surah tersebut atau tidak. Dengan ditemukannya bilangan 19 sebagai disain Al Qur’an, bukti-bukti matematis pada tulisan ini telah membuktikan bahwa lafal “Basmalah” termasuk dalam salah satu ayat Surah Al-Fatihah. Sebagai penutup, semoga tulisan ini dapat menambah keimanan bagi orang-orang yang beriman, menjadi tes/ujian bagi mereka yang belum beriman, dan menghilangkan keragu-raguan bagi mereka yang hatinya dihinggapi keragu-raguan akan kebenaran Al Qur’an. Allah akan membiarkan sesat orang-orang yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya (QS 74:31).

Catatan:
Untuk memverifikasi “keajaiban matematis” dari Al Qur’an anda perlu menggunakan Al Qur’an yang dicetak menurut versi cetak Arab Saudi atau Timur Tengah pada umumnya. Mengapa? Hasil penelitian yang saya lakukan, terdapat banyak perbedaan antara Qur’an versi cetak Indonesia pada umumnya dan Qur’an versi cetak Arab Saudi (kebetulan saya memegang Qur’an versi cetak Arab Saudi), meskipun perbedaan tersebut tidak berpengaruh pada makna/arti. Perbedaan tersebut hanya pada cara menuliskan beberapa kata. Meskipun demikian, jika mengacu pada “Keajaiban Matematis” dari Al Qur’an, Qur’an versi cetak Indonesia pada umumnya (yang disusun oleh orang Indonesia) menyalahi aturan yang aslinya sehingga keajaiban matematis tidak muncul. Saya hanya memberikan 2 contoh kata saja dari sekian kata yang berbeda penulisannya yaitu kata “shirootho” dan “insaana”. Menurut versi cetak Arab Saudi, tidak ada huruf “ALIF” antara huruf “RO’” dan “THO” pada kata “SHIROOTHO” (lihat di Surat Al Fatihah) dan antara huruf “SIN” dan “NUN”pada kata “INSAANA”, tetapi menurut versi cetak Indonesia pada umumnya terdapat huruf ALIF pada kedua kata tersebut. Pada versi cetak Arab Saudi, untuk menunjukkan bacaan panjang pada bunyi ROO dan SAA pada kata SHIROOTHO dan INSAANA, digunakan tanda “fathah tegak”. Saya paham, maksud orang menambahkan ALIF pada kedua kata tersebut agar lebih memudahkan bagi pembacanya, tetapi ternyata menyimpang dari aslinya. Maka dari itu anda menemukan jumlah huruf yang lebih banyak pada Surat Al Fatihah ayat 6 dan 7 dari yang saya tuliskan. Sebagai tambahan, salah satu ciri Qur’an versi cetak Indonesia pada umumnya adalah Surat Al Fatihah terletak pada HALAMAN 2, sementara versi cetak Arab Saudi, Fatihah berada pada HALAMAN 1.
Mengenai jumlah kata, kata harus didefinisikan sebagai susunan dari beberapa huruf (dua hrurf atau lebih), sehingga anda harus memperlakukan “WA atau WAU” sebagai huruf meskipun bisa diartikan dengan kata “DAN” dalam bahasa Indonesia. Perlakuan “WA” (misalnya pada kata “WATAWAA”) sebenarnya bisa disamakan dengan “BI” (pada kata BISMI), karena kebetulan BI bisa gandeng dengan kata berikutnya, sementara WA tidak bisa ditulis gandeng dengan kata yang mengikutinya. Jadi jangan hitung “WA” sebagai kata, tetapi sebagai huruf.


Oleh: Ali Said

Daftar dacaan:
1. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya.
2. Suwaidan, S., Numeric Miracles In the Holy Qur’an, www.islamicity.org
3. Berbagai sumber di www.submission.org dan www.alquran-indonesia berikut website terkait

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS