Asal Usul Sains Modern dan Kontribusi Muslim (1)

Peradaban Barat menjadi lebih berbeda dan lebih kuat dibandingkan dengan peradaban-peradaban lain disebabkan oleb adanya perubahan revolusioner seperti Revolusi Keilmuan, Revolusi Perancis, Revolusi Industri, profesional­isasi ilmu, interaksi rapat antara ilmu dan teknologi dan revolusi-revolusi abad ke-20 dalam ilmu yang saling berkesinambungan yang pada akhirnya tidak hanya mempe­ngaruhi Barat itu sendiri, tetapi juga seluruh dunia. Jika kita perhatikan, faktor-faktor yang paling penting dalam revolusi-revolusi ini ada!ah teknologi dan sains. Teknolo­gi, yang meliputi pengetahuan praktis, telah dirnulai oleh manusia pertama dan sains telah dimulai oleh para filosof Yunani pertama sekitar 600 SM. Namun, sains sebelum Revolusi llmiah serta sebelum Revolusi Industri, merupakan subyek yang timbul tenggelam secara bergantian dalam peradaban-peradaban yang berbeda. De­ngan Revolusi llmiah dan Industri, sains maupun teknologi menjadi tiang utama dalam peradaban Barat, tetapi sampai dekade pertengahan abad ke- 19, keduanya mengikuti jalan-jalan yang berbeda dan independen. Teknologi, terutamanya, telah berkembang tanpa suatu input ilmiah.

Namun, pada dekade pertengahan abad ke-19 dengan industri pewarnaan (celup) yang berorientasi pada kimia, sains dan teknologi untuk pertama kalinya mu­lai betul-betul berinteraksi dan sejak itu teknologi berbasis sains menjadi faktor yang penting dalam mengubah masyarakat modern secara drastis. Tidak diragukan lagi bah­wa dengan interaksi sains dan teknologi, peradaban Barat mengukqhkan kembali su­perioritasnya atas bangsa-bangsa lain dan mengokohkan dominasi dan ketinggiannya.

Sains, sebagai fondasi dan mesin teknologi, telah dan masih menjadi senjata rahasia Barat yang canggih. Mengingat ia merupakan usaha keras yang abstrak dan tak nampak, adalah mudah untuk melupakan dan menyepelekan betapa pentingannya sains. ltulah mengapa bangsa-bangsa Islam atau Timur salah kaprah mengidentifikasi peradaban Barat dengan piranti-piranti teknologis seperti kendaraan, alat-alat us­trik, televisi, radio, telepon, pesawat, sen­jata nuklir, dan sebagainya, dan mencoba untuk mengimitasinya yang pada akhirnya merugikan mereka sendiri. Kita harus sa­dar bahwa sains itu bukan teknologi. Sains berhubungan dengan ide-ide dalam cara­cara yang abstrak sernentara teknologi bertujuan memproduksi benda-benda yang dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup. Dengan kata lain, teknologi meru­pakan aplikasi pengetahuan ilmiah, dan tanpa pemahaman dan penguasaan Ian­dasan ilmiah, hanya memproduksi piran­ti-piranti teknologis melalui imitasi adalah sangat berisiko. Ka!au bangsa-bangsa Mus­lim atau Timur tidak mengambil alih kepemimpinan ilmiah dan Barat, supre­masi Barat dalam teknologi berbasis sains akan terus berlanjut.

Kaum humanis Italia pada periode Renaissance membagi sejarah budaya men­jadi periode kuno, pertengahan, dan mo­dern, dan mengidentifikasi periode mo­dern dengan perubahan dan kemajuan.

Dalam tulisan ini kita akan menelu­sun secara luas asal-usu! pembedaan Barat dan dunia lain dengan membahas perubahan dan kemajuan sains dalam pe­node pertengahan dan modern. Namun, dalam melakukannya atau untuk mendapat­kan gambaran besar bagi topik ini, kita perlu membandingkan dan membedakan Islam dan Barat. Walaupun orang Muslim dahulu tidak ingin melepaskan din dan paradigma-paradigma. Aristoteles dalam fisika, Ptolemy dalam astronomi dan Ga­len dalam ilmu kedokteran, mereka me­nyiapkan landasan bagi Revolusi Ilmiah dan bahkan membuat kontribusi-kontri­busi yang sangat penting bagi fondasi uta­ma sains modern. Orang-orang Barat per­tama-tama belajar danmengasimilasi apa yang telah dicapai umat Islam di semua lapangan, kemudian melalui perubahan­perubahan revolusioner tertentu mengam­bil alih kepemimpmnan, terutama dalam teknologi dan sains, dan juga dalam urus­an-urusan militer dan politik. Ketika akhirnya mereka menggabungkan sains dan teknologi pada abad kesembilan belas, mereka mengukuhkan kembali kekuasaan mereka dan menjadi tak terkalahkan.



Umat Islam Pionir Sains Modern

Asal-usul sains modern, atau Revolu­si I!miah, berasal dan peradaban Islam. Memang sebuah fakta, umat Islam ada!ah pionir sains modern. Jika!au mereka tidak berperang di antara sesama mereka, dan jika tentara Kristen tidak mengusirnya dan Spanyol, dan jika orang-orang Mongo! tidak menyerang dan merusak bagian-bagi­an dan negeri-negeri Islam pada abad ke­13, mereka akan mampu menciptakan se­orang Descartes, seorang Gassendi, seor­ang Hume, seorang Copernicus, dan se­orang Tycho Brahe, karena kita telah me­nemukan bibit-bibit filsafat mekanika, em­pirisisme, elemen-elernen utama dalam heliosentrisme, dan instrumen-instrumen Tycho Brahe, dalam karya-karya A!l-Ghazãli, lbn Al-Shãtir, para astronom pada observatorium Maragha, dan karya-karya Takiyuddin.

Al-Ghazali, untuk pertama kalinya, menghancurkan otoritas Aristoteles dan pada saat yang sama menabur bibit-bibit filsafat mekanika, fondasi rnetafisika un­tuk sains modern. Maka kontribusinya itu tidak hanya destruktif, tetapi juga kons­truktif.

Image
Al-Ghazali
Alih-alih menghambat perkembang­an sains, al-Ghazãli adalah seorang agen dalam memfasilitasi kemajuan yang lebih jauh. Sebagai seorang individu, ia telah mencapai untuk pertama kalinya antara tahun 1094 dan 1108 hal-hal yang sama seperti apa dicapai orang-orang Eropa selama lima abad, yaitu dan akhir abad ke- 12 hingga abad ke- 17. Dengan demiki­an, ia mensimbolisasikan individualisme, suatu pemikiran yang bernilai pada zaman Renaissance, dalam cara yang paling balk, dan, alih-alih mengikuti otoritas filsafat, ia menyerang dan menghancurkan ide-ide bid’ah Aristoteles dan Aristotelianisme dalam tiga tahun, yaitu dan tahun 1092 hingga 1095.

Dia telah menunjukkan anomali­-anomali pada Aristotelianisme dalam pan­dangan teologi Islam, membentangkan dasar-dasar metafisika Descartes, men­dukung kepercayaan atomistik dengan mengemasnya dalam kemasan teologis jauh sebelum Pierre Gassendi meng-Kris­ten-kan atomisme, dan menolak keharu­san kausalitas, yang dengan demikian mendahului David Hume. Tentu saja, de­ngan pernyataan-pernyataan ini saya tidak mengklaim adanya suatu pengaruh lang­sung, tetapi mencoba menemukan paralelisme yang rapat yang ada antara Islam dan Barat. Perlu dicatat bahwa a!­Ghazali berbicara dan tinjauan teologi Islam sementara para pemikir yang dise­but di atas, jika mereka pernah mengam­bil manfaat dan ide-ide al-Ghazãli, meng­ambil ide-ide itu tanpa melihat kontek­snya dan menggunakan ide-ide tersebut untuk tujuan mereka.

Saya yakin bahwa untuk memasukkan al-Ghazãli di antara para pionir sains mo­dern dapat dan akan mengejutkan para pembaca, karena hampir setiap orang, ter­masuk para ahli sejarah sains terkenal Se­perti J. J. Saunders, Giorgia de Santillana, dan bahkan Seyyed Hossein Nasr setuju bah­wa serangan-serangan al-Ghazãli kepada para filosof itu merupakan sebab utama keruntuhan ilmiah dalam Islam, tetapi tidak ada klaim yang lebib mendekati kebenaran ketimbang ini.

Bagaimana Al-Ghazali, seorang pemikir religius yang tanpa kuasa politik, mampu menghentikan perkembangan sains hanya oleh dirinya sendiri? Padahal, seperti kita lihat nanti, sains terus berkembang dalam Islam bahkan setelah AI-Ghazali. Kemudian, Al-Ghazã!i sendiri tidak pernah menyerang sains, tetapi metafisika Aristoteles yang dikembangkan oleh Al-Fãrãbi dan Ibn Sina.

Mengenai sains ia menulis:

MATEMATIKA. [Ilmu] ini me­liputi aritmetika, geometri dan as­tronomi. Tidak ada dan hasil-hasilnya yang berhubungan dengan masalah­masalah agama, baik yang menolak atau­pun yang menegaskannya. Ilmu ini adalah masalah-masalah demonstrasi yang tidak mungkmn ditolak jika ilmu ini dipahami dan dikuasai...

LOGIKA. Tidak ada dalam ilmu logika yang relevan dengan agama baik dengan cara penolakan ataupun penegasan terhadapnya.

ILMU ALAM ATAU FISIKA. Ini merupakan investigasi bola langit dan ben­da-benda langit, dan tentang apa yang di bawah langit, baik benda-benda sederha­na seperti air, udara, bumi, api, ataupun benda-benda komposit seperti binatang, tetumbuhan dan mineral, dan juga tentang sebab-sebab perubahan, transformasi dan~ kombinasi-kombinasinya. ini sama dengan investigasi yang dilakukan obat atas tubuh manusia dengan organ-organ utama dan subordinatnya, dan tentang sebab-sebab perubahan temperamen. Seperti halnya tidaklah tepat agama menolak ilmu kedok­teran, begitu pula terhadap ilmu alam.

Al-Ghazãli mendukung matematika, astronomi dan ilmu alam dan menulis buku­buku tentang logika bagi. para teolog. Dia juga memperingatkan umat Islam untuk tidak menyerang sains, dengan menge­mukakan sebuah contoh dan astronomi:

Ada hal-hal yang dipercayai para filosof, dan yang tidak bertentangan den­gan prinsip agama... Contohnya adalah teori m~reka bahwa g~rhana bulan terja­di ketika cahaya Bulan hilang sebagai aki­bat dan letak Bumi yang berada di antara Bulan dan Matahari. Karena Bulan itu mendapatkan cahayanya dan Matahari, dan Bumi itu organ bulat yang dikelilingi oleh Langit dalam setiap sisinya. Oleh karena itu, ketika Bulan jatuh di bawah bayang-bayang Bumi, cahaya Matahari itu terpotong darinya. Contoh lain adalah teori mereka bahwa gerhana matahari berarti letak Bulan berada di antara Ma­tahari dan pengamat, yang terjadi ketika Matahari dan Bulan berada pada perte­muan titik (node) pada derajat yang sama. Kita tidak tertarik untuk menolak teori­teori seperti itu, karena penolakan itu tidak punya tujuan apa-apa. Orang yang berpikir bahwa adalah kewajiban keber-agamaan­nya untuk tidak mempercayai hal-hal tersebut betul-betul b~rtindak tidak adil terhadap agama, dan akan melemahkan fondasinya. Itu karena hal-hal ini telah kukuh depgan bukti-bukti astronomis dan matematis yang tidak meninggalkan ruang keraguan. Jika anda memberi tahu seseo­rang, yang telah mempelajari hal-hal ini— yang dengan itu membuatnya meragukan seluruh data yang berhubungan dengan hal-hal tersebut, dan ketika dia berada dalam posisi untuk memprediksi kapan gerhana bulan atau matahari akan terjadi; apakah ia akan terjadi secara total atau parsial~ dan seberapa lama ia akan terja­di—bahwa hal-hal ini bertentangan den­gan agama, pernyataan anda itu akan meng­goncangkan keimanannya pada agama, tidak dalam hal-hal tadi. Perusakan yang dilakukan pada agama oleh penolong [aga­ma] yang tidak metodologis adalah lebih besar daripada oleh musuh yang tindak­an-tindakannya, betapapun sengitnya, tetap sesuai aturan. Karena seperti yang disebutkan oleh peribahasa, musuh yang bijak lebih baik daripada teman yang bodoh.

ImageWalaupun al-Ghazãli mendukung sains secara intens, dia melakukan kritik ter­hadap metafisika Aristoteles yang dikembangkan oleh Al-Fãrãbi dan lbn Sinã. Tetapi untuk melakukannya ia harus mempelajari filsafat secara otodidak, kare­na di dunia Islam seseorang tidak mungkin mempelajari filsafat di sekolah ataupun madrasah, yang muncul belakangan dan tidak pernah memasukkan filsafat dan ilmu-ilmu alam dalam kurikulumnya. ltu­lah mengapa lbn Sinã dan Al-Ghazãli mem­pelajari filsafat secara otodidak. Apa yang menarik adalah, Al-Ghazãli sendiri adalah professor ilmu-ilmu Islam pada Madrasah Nizamiyah di Baghdad. Ketika ia berupaya untuk mengkritik filsafat, ia mengkajinya dalam waktu luangnya dan mempelajarinya selama dua tahun. Dalam tahun ketiga ia mengasimilasi dan meng­evaluasi apa yang telah ia pelajari sebe­lumnya. Dan situlah kemudian Ia siap un­tuk menulis buku terkenalnya, Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof) setelah tiga tahun. Seperti yang ia katakan:

Saya menyadari bahwa untuk inenolak suatu sistem sebelum memahami dan mempelajari keda lam­annya adalab tindakan membabi-buta. Oleh kare­na itu saya memulai dengan segala keseriusan untuk mendapatkan pengetahuan tentang filsafat dan buku­buku, dengan kajian sendiri tanpa pertolongan dan seorang pembiinbing. Demi tujuan ini saya menghabiskan waktu Lu­ang saya setelah mengajar ilmu-ilmu agama dan penulisan, karena pada periode ini saya dibebani oleh tugas mengajar dan membimbing tiga ratus murid di Baghdad. Dengan bacaan saya sendiri selama waktu-waktu sibuk tersebut Tuhan telah meinbuat saya mengerti secara utuh ilmu-ilmu para filosof se!a­ma kurang dari dua tahun. Sejak itu saya dengan bersungguh-sungguh terus melakukan rejleksi sela­ma satu tahun tentang apa yang telah saya pahami, didiskusikan dalam pikiran saya secara terus me­nerus dan mengorek liku-liku kedalamannya, sampai saya pahami secara yakin dan pasti sejauhmana ia palsu dan memusingkan dan sejauh mana ia benar dan merupakan representasi dan realitas.

Berbeda dengan Barat, yang sejak abad ke- 13 para teolog pertama-tama menjadi para filosof dengan menghadiri fakultas sastra untuk mempelajari filsafat, khususnya, filsafat alam Aristotelian, se­belum melanjutkan pada fakultas teologi, dalam Islam, para teolog (mutakallimün) dan para filosof itu terpisah dan independen. Kaum mutakal!imun mengembangkan metafisika Islam, yang juga termasuk di da!amnya kepercayaan dalam atomisme (occasionalism), tanpa berada di bawah pe­ngaruh para filosof Yunani. Di sisi lain, para filosof seperti Al-Fãrãbi dan Ibn Sinã mempertahankan Aristotelianisme Neo­Platonis. Maka dalam Islam terdapat dua sistem metafisika yang bertentangan— satu dimiliki oleh mutakalimun dan yang lain dimiliki oleh para-pengikut Aristoteles, yaitu al-Farabi dan Ibn Sinã. Tentu saja, Al-Ghazali tidak membiarkan rivalitas dan situasi pertentangan irii berlanjut begitu saja. Untuk itulah ia secara efektif meng­hancurkan dua puluh ide-ide Aristoteles dan mengkafirkan al-Fãrãbi dan Ibn Sinã dalam tiga poin dan bid’ah dalam tujuh belas poin. Ia menulis:

Pandangan-pan­dangan Aristoteles, seperti yang dikem­bangkan oleh al-Fãrãbi dan lbn Sinã, itu sebe­tulnya dekat dengan pandangan para penulis Islam. Seluruh kesalahan mereka dapat dirangkum dalam dua puluh poin, tiga diantaranya mereka harus dianggap kafir dan tujuh belasnya sebagai bid’ah. Saya menyusun Kerancuan para Filosof adalah untuk menunjukkan ke­salahan pandangan-pandangan mereka dalam dua puluh poin itu. Tiga poin yang membuat mereka berbeda dan semua umat Islam adalah seperti berikut:

(a) Mereka mengatakan bahwa tidak ada kebangkitan kembali bagi tubuh; han­ya roh yang diberi pahala atau disiksa, dan pahala dan siksa itu pun bersifat spiritual, tidak badani. Mere­ka betul-betul berbicara benar dalam menegaskan yang bersifat spiritual, karena memang hal itupun terjadi; tetapi mereka berbicara salah dalam menolak yang bersifat badani dan dalam pernyataan mereka itu tidak niengimani wahyu Tuhan.

(b) Mereka mengatakan bahwa Tuhan mengetahui universalia tetapi tidak rriengetahui partikularia. ini juga jelas­jelas tidak beriman. Yang benar ada­lah bahwa ‘tidak ada yang tersembunyi daripada-Nya yang ada di langit dan yang ada di bumi’ walau seberat atom pun’ (Qs. 34, 3).

(c) Mereka mengatakan bahwa dunia itu kekal, tanpa awal. Tetapi tidak ada umat Islam yang mengadopsi pandan­gan demikian dalam persoalan ini.

Untuk memasuki suatu periode baru seperti Renaissance dan kemudian untuk mencapai Revolusi llmiah; prasyarat per­tama adalah menghancurkan pegangan pada Aristoteles, yang Al-Ghazali lakukan secara menakjubkan dalam Tahafut al-Falãsi­fah-nya di penghujung abad ke- 11. Seper­ti akan kita lihat, dan tahun 1210 hingga 1277 dan juga pada masa Renaissance, Barat juga mencoba untuk menghancurkan otoritas Aristoteles. Khususnya pada tahun 1277, orang-orang Barat pada hakikatnya mengulangi apa yang al-Ghazãli telah Ca­pai dengan Tahafut aI-Falãsifah, tetapi dalam cakupan yang lebih luas. Walaupun al­Ghazãli telah menolak dua puluh ide-ide bid’ah Aristoteles yang didukung oleh Al-­Fãrãbi dan Ibn Sinã, orang-orang Barat baru menolak ide-ide Aristoteles, Ibn Rushd dan Thomas Aquinas sebelum me­masuki periode baru.

Dan sudut pandang progresif ala Kuhn, apa yang Al-Ghazãli capai sebetulnya adalah menghancurkan riritangan-rintangan yang menghalangi kemajuan sains dan teknologi dan mensuplai sains modem dengan fonda­si-fondasi metafisika barn, yaitu filsafat me­kanika. Kita tahu bahwa tanpa fondasi metafisika, sains tidak dapat berkembang. Itulah sebabnya mengapa pencapaian al­Ghazãli itu lebih dan fenomenal.

Al-Ghazãli pernah melewati suatu periode skeptisisme personal yang dalam masa itu Ia bahkan meragukan kebenaran persepsi indera dan matematika. Ia mem­bandingkan kesadaran dengan mimpi. Be­lakangan, ia sekali lagi mulai mempercayai logika, matematika dan ide-ide ‘swa-buk­ti’ (self-evident) lainnya. Seperti kita ket­ahui, gambaran-gambaran ini juga ada dalam filsafat Descartes. Perbedaan uta­ma antara keduanya adalah bahwa Al­-Ghazãli bekerja di dalam kerangka teologi Islam sementara Descartes menempatkan titik tekannya pada pikiran manusia.

Seperti telah kita singgung sebelum­nya, kaurn mutakalimün percaya pada atom­isme, dan al-Ghazãli juga mendukung atomisme kalãm. Barangkali karena mengikuti contoh kaum mutakalimün dan Al-Ghazãli, Pierre Gassendi mengkompro­mikan atomisme dengan iman Kristen. Walaupun Gassendi membangkitkan kembali atomisme Epicurean, atomisme kalãm itu unik dan sangat berbeda. Misal­nya, menurut Gassendi, kualitas-kualitas sekunder hanya ada dalam pikiran manu­sia, tetapi menurut atomisme kaldin, kual­itas-kualitas sekunder itu merupakan bagi­an atau aksidensia dan atom-atom indi­vidual, yaitu melekat di dalamnya secara alami.

Demikian juga terdapat kesamaan yang menarik antara pandangan~pandang­an al-Ghazãli dan David Hurne. Misalnya, al-Ghazãli menyatakan bahwa “hubungan antara apa yang dipercayai sebagai sebab dan akibat itu bukan keharusan” walau­pun “ norma pada masa lalu itu tetap berkesan dalam pikiran kita. Sebagai­mana kita ketahui, Hume juga menge­mukakan ide-ide ini pada abad ke-18.

Menarik sekali, kita menernukan akhir dan kalimat David Hume dalarn Di­alogues concerning Natural Religion yang secara tepat rnenggambarkan krisis skeptisisme personal Al-Ghazali jika kita mengganti kata-kata Kristen” dengan “Muslim”:

Seorang manusia, yang berpengala­man dengan perasaan yang benar tentang ketidaksempurnaafl rasio alarniah, akan terbang untuk menen~ukan kebenaran de­ngan kehausan yang sangat... Menjadi se­orang skeptis filosofis adalah, yang harus dicatat, langkah pertama yang paling esen­sial menjadi [Muslimi yang beriman te­guh.

Setelah al-Ghazãli, sains dalam Islam terus berkembang, terutamanya dalam aritmetika dan astronomi. Misalnya, se­kitar dua puluh astronom bekerja sama dalam observatorium Maragha di Timur pada abad ke- 13 dan mengumpulkan data selarna dua puluh tahun. Sejauh yang kita ketahui inilah observatorium terorgani­sir yang pertama yang di dalamnya terkons­truksi instrumen-instrUmen dan juga per­pustakaan. Walaupun mereka bekerja di dalam kerangka astronomi Ptolemaik, mereka juga melakukan kritik terhadap­nya. Itulah mengapa kepala observatori­urn ini, Na~ir al-Din al-’füsi dan murid­nya, Quçb al-Din al-Shirãzi bekerja sarna membangun model yang lebih konserva­tif dalarn menerima gerak seragarn (uniform motion) ketimbang sistem Ptolemaik. Be­lakangan, dalam sistem Copernican, kita juga menemukan sikap konservatif yang sama. Pada abad keempat belas Ibn al­Shã~ir, seorang astronom Damaskus, menyempurnakan model Tusi dan Shirãzi dengan mengernbangkan model-model planet yang non-Ptolemaik dan teori lu­nar (bulan).

Terdapat kesamaan yang menarik an­tara teori-teori planet lbn al-Shãtir dan Copernicus, walaupun teori yang satu itu geostatik dan teori yang lain adalah he­liostatik. Dalam kata-kata E. S. Kennedy dan Victor Roberts:

Mekanisme planet lbn al-Shatir itu cukup berbeda dan mekanismenya Coper­nicus dalam arti bahwa alam yang satu itu bersifat geostatik dan yang lain itu heliosta­tik. Dalam hal-hal lain, terutama dalam kasus Merkurius dan Venus, solusi-solusi yang ada dalam De Revolutionibus-nya Copernicus Un­tuk planet-planet yang sama menunjukkan kesamaan yang menakjubkan dengan apa yang dihasilkan oleh sumber kita.

Walaupun basis teknis bagi heliosen­trisme telah ada, umat Islam tidak ingin berpisah dan sistem Ptolemaik agar pan­dangan-dunia Islam (Islamic worldview) saat itu tidak terganggu. Seperti yang dikata­kan oleh Seyyed Hossein Nasr:

Astronomi Islam.. . tidak menghan­curkan ikatan-katan sistem Ptolemaik yang tertutup, yang begitu terikat dengan pan­dangan dunia pertengahan. Adalah benar bahwa banyak dan astronom Muslim ke­mudian mengkritik berbagai ~spek dan astronomi Ptolemaik. Adalah jelas juga bahwa astronom-astronom seperti al-Biru­ni mengetahui tentang kemungkinan ge­rak lonjong (elliptical motion) planet-planet, bukannya gerak melingkar (circular motián). Tetapi tidak seorang pun melakukan, atau­pun mampu melakukan, Iangkah untuk bertentangan dengan pandangan dunia~tra­disional, seperti halnya yang terjadi pada masa Renaissance di Barat—karena hal itu akan berarti tidak hanya suatu revolusi dalam astronomi, tetapi juga kegoncang­an dalam wilayah-wilayah religius, filosofis, dan sosial. Tidak seorang pun dapat memperkirakan pengaruh revolusi astronomi pada pikiran manusia. Dan se­lama hirarki pengetahuan tetap utuh dalam Islam, dan scientia terus tertanam dalam dada sapientia, “limitasi” tertentu dalam wilayah fisik itu diterima agar da­pat memelihara kebebasan ekspansi dan realisasi dalam wilayah spiritual. Tembok kosmos itu dipelihara, agar dapat menja ga makna simbolis yang visi kosmosnya telah membatu pada kebanyakan manusia. ini seolah-olah para ilmuwan dan sarjana dulu telah meramalkan bahwa menghan­curkan dinding ini berarti akan menghan­curkan kandungan kpsmos simboliknya, dan bahkan menghilangkan makna “kos­mos” (yang secara literal berarti tatanán) bagi mayoritas manusia, yang untuk merekalah kita sulit mengkonsepsikan Ia­ngit sebagai materi pijar yang berotasi di ruang angkasa dan pada saat yang sama sebagai singgasana Tuhan. Dan begitu pula, walaupun terdapat berbagai kemungkinan teknis, Iangkah menuju penghancuran pan­dangan alam tradisional tidak akan diam­bil, dati umat Islam tetap puas dengan mengembangkan dan menyempurnakan sistem astronomi yang diwarisi dan bang­sa Yunani, India, dan Persia, dan yang te­lah terintegrasi secara penuh ke dalam pandangan alam Islam.

Lagi-lagi terdapat kesamaan yang ra­pat antara instrumen-instrumen Tycho Bra-he dan para astronom yang bekerja pada observatorium Maragha. Demikian juga, seperti dibuktikan oleh Prof. Sevim Tekeli dalam tesis doktoralnya dan dalam bebe­rapa artikel, instrumen-instrumen yang di­gunakan oleh Takiyuddin, seorang astro­nom Turki Usmani pada abad ke-16, ada­lah hampir sama dengan yang dipakai oleh Tycho Brahe.



Sains Barat Pertengahan

Eropa sungguh beruntung dapat meni­kmati stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi setelah abad ke- 11. Jika saja o­rang-orang Mongol menginvasi keseluruh­an Eropa, yang mereka mampu lakukan, orang-orang Barat tidak akan mendapat­kan stabilitas dan kemakmuran yang cu­kup untuk bisa sukses menyempurnakan Revolusi Ilmiah (Scientific Revolution). Seper­ti kita ketahui, orang-orang Mongol, se­telah mengambil Silesia pada tahun 1241, kembali ke negeri mereka, sejak raja mereka di Mongolia mati dan mereka harus memilih pemimpin baru mereka.

ImageDengan mewarisi pencapaian-penca­paian pengetahuan Islam dalam berbagai area melalui penerjemahan dan kontak­kontak personal dan juga dengan pemin­jaman dan penggunaan kompas magnetik, mesiu, teknik-teknik pembuatan kertas dan percetakan dan umat Islam, orang­orang Barat mulai membangun struktur sains dan teknologi modern.

Sains pertama-tama dikawinkan de­ngan iman Kristen rnelalui agensi wahyu, yaitu melalui gereja, sebab universitas­universitas di abad pertengahan, yang merupakan tempat dimana para mahasiswa diajarkan tujuh materi dan Liberal Art dan filsafat alam Aristotelian, itu berada di bawah kekuasaan gereja.

Di Barat, sains terus berkembang dan tidak pernah ketinggalan peluang seperti halnya dalam kasus Islam, terutamanya disebabkan oleh institusi-institusi pendi­dikan khas yang disebut universitas. Komunitas filosof dan mahasiswa terbesar pada Abad Pertengahan mempelajari ide-ide Aristoteles melalui interpretasi dan kornentar-komentar lbn Sinã dan lbn Rushd pada institusi-institusi ini dan men­coba mengembangkannya lebih jauh. Dengan kata lain, disebabkan oleh matriks disiplin yang sama, yaitu Aristotelianis­me, para mahasiswa dilatih di dalam pan­dangan alam (woridview) Aristotelian. Den­gan demikian, sebagai hasil dan standard­isasi pendidikan, professor dan mahasiswa dapat berpindah dan satu universitas ke universitas yang lain.

Anak-anak laki-laki pada usia tiga be-las atau empat belas tahun, setelah mem­pelajari tata bahasa Latin, mulai mengha­din perkuliahan pertama pada fakultas sas­tra, yaitu fakultas sarjana yang merupakan prasyarat bagi fakultas-fakultas lanjutan atau pasca-sarjana. Setelah menerima ge­lar masternya dan fakultas tersebut dalam empat tahun, mahasiswa dapat mengha­din salah satu fakultas lanjutan seperti fakultas kedokteran, fakultas hukum dan fakultas teologi. Fakultas kedokteran menuntut lima dan enam tahun, fakultas hukum tujuh atau delapan tahun dan fakul­tas teologi delapan hingga enam belas tahun untuk menyempurnakan program­nya yang relevan. golongan pendeta) dan para guru (pro­fesor) adalah anggota gereja. Karena itu mereka, termasuk para pengikut lbn Rushd, tidak dapat menerima ide bahwa filsafat adalah sumber satu-satunya kebe­paran. Itulah sebabnya mereka harus me­milih sikap skeptis dan kritis terhadap Aristotelianisme dalam rnasalah-masalah yang bertentangan dengan wahyu. Maka rekonsiliasi antara ilmu dan agama yang dicapai oleh Albert the Great dan Tho­mas Aquinas dan pengutukan-pengutukan yang dikeluarkan oleh gereja itu bukan­

lah sebab utama dan pemikiran hipotetis seperti yang biasa diasurnsikan. Hal itu hanyalah penopang bagi pendekatan skep~ tis dan kritis yang umum yang telah ada dan sejak awal karena gereja menjadi agen penopang wahyu. Dengan demikian, di Barat, keberadaan gereja menentukan ben­tuk pemikiran ilmiah.

Pada permulaan abad ke-13 orang­orang Barat telah menerjemahkan hampir seluruh buku Aristoteles, para filosof Yu­nani lain, dan para filosof, teolog dan ii­muwan Islam, dan Bahasa Arab ke Latin. Mereka menerima risalah-risalah teknis tentang astronomi, optik, astrologi, matematika, kimia dan kedokteran secara antusias dan dengan keasyikan tersendiri, sejak mereka dapat menutup jurang keter­pisahan yang ada. Tetapi buku-buku Aris­toteles itu berbeda karena ide-ide bid’ah yang dibawanya. Sementara al-Ghazãli telah mempersiapkan ide-ide yang ditu­angkannya dalam Tahafut al-Falasifah selama tiga tahun, orang-orang Barat menghabis­kan sekurang-kurangnya sepuluh tahun untuk mencoba memahami implikasi-im­plikasi dan ide-ide Aristoteles seperti yang ditafsirkan lbn Sinã. Reaksi pertama atas Aristotelianisme muncul pada tahun 1210. Untuk meredakan tuduhan bahwa para mahasiswa itu mempelajari panteis­me di fakultas sastra di Paris, Synode (muk­tamar gereja) Provinsi Sens menegaskan bahwa siapa saja dosen dan mahasiswa fakultas tersebut yang membaca buku­buku Aristoteles ataupun komentar-ko­mentar Ibn Sina akan dihukum dengan pengucilan. Lima tahun kemudian per­nyataan yang sama diperbarui. Pada seki­tar tahun 1230 orang-orang Barat mulai membaca komentar-komentar Ibn Rushd untuk mempelajari ide-ide ash Aristote­les ketimbang membaca versi Neoplato­nis yang ditawarkan Ibn Sina.

Mengikuti semangat pernyataan tahun 1210 dan 1215, pada tahun 1231 Paus Gre­gory IX memerintahkan untuk membuat suatu komite untuk membuang ide-ide bid’ah yang muncul dan buku-buku Aris­toteles dan kom entar-komentarnya. Sejauh yang kita ketahui, komite itu tidak pernah kompak dan gagal melaksanakan perintah tersebut. Akibatnya, pada tahun 1240-an, utamanya setelah kematian Gregory IX, sensor atas Aristoteles dan komentar-ko­mentarnya kehilangan kekuasaannya, dan Roger Bacon mulai mengajarkan ide-ide Aristoteles kepada mahasiswanya pada fakultas sastra di Paris.

Pada tahun 1255, disebabkan oleh sta­tuta baru, adalah wajib bagi para mahasiswa fakultas sastra (faculty of arts) untuk mem­pelajari ide-ide Aristoteles untuk menda­patkan gelar master mereka. Pada periode antara 1255 dan 1270, Albert the Great dan Thomas Aquinas mengkompromikan filsafat alam Aristotelian dengan iman Kristen. Tetapi pada periode yang sama para pengikut lbn Rushd seperti Siger de Bra­bant dan Boethius of Dacia secara publik di fakultas sastra Paris mempertahankan ide kekekalan dunia, kesatuan akal (doktrin lbn Rushd tentang monopsikisme), dan ketidakmungkinan kebangkitan kembahi badan yang mati.

Pada tahun 1270 Etienne Tempier, Usk­up Paris, mengutuk tiga belas proposisi Aris­toteles termasuk ide-ide yang dijelaskan di muka. Karena pengutukan ini tidak sepenu­hnya mengurangi semangat Aristotehianisme radikal, maka pada tahun 1277 ia bereaksi atas Aristotehianisme dengan lebih keras dengan mengutuk 219 pnoposisi Anistote­les, lbn Rushd, dan Thomas Aquinas.

Dengan pengutukan pada tahun 1270 dan 1277, orang-orang Barat mengikuti gaya al-Ghazãli yang pada akhir abad ke­11 telah mengkritik dua puluh poin Aris­totelianisme. Sementara orang-orang Barat atau Etienne Tempier membuat daftar ide-ide bid’ah, al-Ghazãli telah menulis Se­buah buku yang mengagumkan yang me­nentang ide-ide bid’ah Aristotelianisme tersebut. Dengan demikian, prestasi a!­Ghazali itu lebih bermakna, lebih akade­mis, dan lebih berkesadaran. Ralph Ler­ncr, Muhsin Mahdi dan Ernest L. Fortin telah mengemukakan karakter pengutukan tahun 1277 yang tidak sistematis itu sbb:

Orang-orang tidak niampu memasti­kan apakah proposisi-proposisi itu diam­bil secara tekstual dan tulisan-tulisan Aris­totelian. Tidak ada upaya yang nampak dibuat mereka untuk memperkenalkan satu susunan logis. Terlebih lagi, disebab­kan kekurangan konteks langsung, maknanya yang tepat tetap saja kabur. Walaupun nampak dipengaruhi oleh Aye­rroisme, banyak proposisi-proposisi itu yang merepresentasikan versi kasar dan pengajaran Averroistik yang ash.’9

Pengutukan atau penolakan atas ide-ide bid’ah Aristoteles telah melemahkan pe­gangan pada Aristotehianisme dan mendo­rong munculnya alternatif-altematif dan pan­dangan dunia Aristotelian (Aristotelian world­view). Belakangan, dalam periode Renaissance, gerakan anti-Aristotelian ini telah memun­culkan mistisisme dan animisme.



Zaman Renaissance

Renaissance, Abad Kelahiran Kembali, antara rentang tahun 1350 hingga 1550, dimulai pertama-tama di Italia dan bela­kangan menyebar ke Eropa Utara. Menurut kaum humanis Renaissance, berlangsung sejak keruntuhan lmperium Romawi, za­man kegelapan di Eropa berlangsung se­lama seribu tahun. Periode, yang juga di­sebut Abad Pertengahan (Middle Ages), ber­sifat tidak produktif, mandeg, dan gelap. Ini disebabkan oleh keringnya logika dan metafisika Aristotelian. Sebagai reaksi melawan spekulasi yang gagal dan Sko­lastikisme dan Kristen, mereka memfokus­kan perhatian pada ide-ide tentang figur­figur klasik dalam sastra, arsitektur dan seni. Tetapi tujuan mereka sebenarnya adalah untuk menciptakan zaman baru.

Untuk mencapai zaman baru, orang­orang Eropa mulai menggunakan teknolo­gi. Setelah mengkonstruksi hukum-hukum dan membangun kapal-kapal yang lebih canggih, mereka mulai mengeksplorasi dunia dan menemukan tanah-tanah baru. Dengan perjalanan-perjalanan penemuan itulah mereka menemukan emas, budak dan rempah-rempah di tanah-tanah baru dan, agar dapat mengeksploitasi sumber­sumber dan orang-orang di tanah baru itu lebih lanjut, mereka pun menjajahnya. Maka dan abad kelima betas itulah mere­ka mulai mendominasi dunia.

Datam sains, mereka memberontak melawan Aristotetianisme dan memper­lemah cengkeramannya dengan meng­angkat kembali filsafat-filsafat kiasik Se­perti Platonisme, Pythagoreanisme, skep­tisisme, dan animisme (Hermeticism) Dengan demikian, seperti a!-Ghazãli, mereka tidak mengikuti otoritas Aristoteles.

Dalam periode knisis ini, para pemikir, ilmuwan, dan filosof percaya bahwa alam semesta (universe) merupakan satu organis­me dan selalu terdapat kekuatan gaib di mana-mana. Kekuatan-kekuatan superior

yang dimiliki oleh organ-organ langit da­pat mempengaruhi kekuatan-kekuatan in­ferior. Dengan ide-ide inilah Renaissance menjadi sebuah periode magis par excellence, sejak itu magi atau anti-rasionalisme un­tuk pertama kalinya mendapatkan status intelektual. Dengan demikian, periode ini, yang di dalamnya terjadi pemburuan para penyihir, bukanlah serasional seperti yang biasa diperkirakan, dan sebenarnya periode ini adalah periode anti-ilmiah.



Filsafat Mekanika

Image
Sir Isaac Newton
Filsafat mekanika yang menjadi fondasi sains modern bereaksi melawan animisme Renaissance. Secara bertahap, filsafat mekani­ka sebagai’ alternatif bagi Aristotelianisme maupun animisme menjadi paradigma do- minan pada abad ketujuh belas dan menca­pai puncaknya pada Isaac Newton.

Descartes, Kepler, Galileo, Boyle dan para filosof mekanika lainnya membeda­kan antara kualitas primer dan kualitas sekunder untuk mencopot animisme dan alam. Menurut mereka, kualitas-kualitas primer (properti geometris) dimiliki alam, teta­pi kualitas-kualitas sekunder seperti war­na, kehalusan, kekerasan, rangsangan, dan rasa pahit hanya muncul dalam pikiran manusia (human mind).

Untuk membuat alam itu pasif dan berbeda, Descartes juga memisahkan pikir­an dan tubuh (materi, alam). Pikiran (mind) itu hidup, aktif, dan immaterial, sementa­ra tubuh, alam atau materi adalah pasif. Pikiran itu bukan materi dan materi bukan pikiran. Misalnya, pikiran tidak menempati ruang, tetapi materi menempatinya, kare­na materi adalah keluasan (extension).

Seperti kita semua ketahui, Descartes pertama-tama membuktikan eksis­tensi pikiran dengan meragukan segala Se­suatu. Walaupun ia dapat meragukan segala sesuatu, dia tidak dapat meragukan bah­wa ia sedang meragui. Maka ia mempun­yai proposisi pertama yang diyakininya: cogito ergo sum. Ia belakangan membukti­kan eksistensi Tuhan dengan berdasarkan pada ide tentang wujud sempurna dalam pikirannya. Dengan demikian, dengan menjadikan teologi sebagai sekunder dan kekuasaan Tuhan atas alam sebagai tidak efektif, ia membuka jalan bagi filsafat seku­lar dan mekanika.

Dengan cara inilah orang-orang Ba­rat memisahkan alam dan pikiran dan Tu­han agar dapat memahami dan memanipu­lasinya dalam kerangka Francis Bacon. Maka, jika kita menggunakan istilah Al­exander Koyre, alam menjadi “dijinakkan” (devalorized). Sebagaimana Prof. Syed Mu­hammad Naquib al-Attas secara tepat menggambarkannya:

Revolusi Cartesian pada abad ke-17 rnenghasilkan dualisme final antara materi dan spirit dalam cara yang membuat alam dibiarkan terbuka untuk dikaji dan me­layani sains sekular, dan meletakkan manu­sia dalam tingkatan dimana tidaic ada yang lain kecuali dunia yang ada di tangannya.

Descartes ingin memahami dasar re­alitas dengan keyakinan. Untuk tujuan ini ia menggunakan kekuatan rasionalnya dan memproses secara deduktif dengan meng­gali sebab-sebab fenomena. Misalnya, Descartes mengklaim dapat mengetahui esensi materi. Baginya, mateni adalah ke­luasan (ekstensi). Dan. asumsi dasar ini ia secara deduktif menyimpulkan bahwa ru­ang hampa tidak dapat eksis dan bahwa alam semesta itu penuh (plenum). Agar da­pat menjelaskan fenomena umum dalam kepenuhan itu, ia secara fiktif menemu­kan tiga jenis materi yang pada gilirannya digunakan untuk gerak planet dan fenom­ena lain seperti gravitasi, cahaya dan ge­rak. Walaupun Descartes menggunakan metode matematika, yaitu metode deduk­tif, ia tidak dapat mematematisasi filsafat mekanikanya disebabkan penekanannya pada sebab-sebab fenomena dengan pendekatan metafisika atau hipotetis.

Seperti yang diindikasikan sebelum­nya, Descartes itu bukanlah satu-satunya arsitek filsafat mekanika. Misalnya, filosof mekanika lain, Gassendi, membangkitkan kembali dan mengknisteruisasi madzhab atomistik kuno dan menenima kesimpul­an-kesimpulan skeptisisme dengan mene­kankan kompleksitas alam. Berbeda de­ngan Descartes, ia mengklaim bahwa Un­tuk memahami esensi sesuatu itu tidak mungkmn dan bahwa satu-satunya yang dapat dibuat adalah mendesknipsikan pe­nampakan-penampakan (appearances).

Filsafat mekanika mempenganuhi Revolusi Ilmiah, yang pada gilirannya memainkan peran penting baik pada masa Pencerahan maupun Revolusi Perancis, tetapi sains mendapatkan kekuatan yang sebenarnya ketika ia mulai mempengaru­hi teknologi dalam artian yang riil.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment